Suatu ketika, saya membaca buku terjemahan Albert Camus berjudul The Outsider (Sang Pemberontak), seorang filosof absurdis dari Aljazair, Perancis. Novel yang ingin menuai keinginan demi yang absolut dan kebenaran.Â
Meski dianggap sebagai sesuatu yang negatif, kebenaran lahir dari hidup dan perasaan, tapi tanpa kemenangan atas diri sendiri atau atas dunia tidak akan pernah mungkin terjadi. Tokoh utama digambarkan menginginkan pembebasan dan kemerdekaan atas diri sendiri dan hati nurani. Sehingga Meursault melakukan apa saja yang ingin ia lakukan.
Tjap. Mengutip pernyataan Gunawan Tri Atmodjo perihal buku ini menyatakan, 'Meski megambil prahara 65, novel ini bercerita tentang hubungan intim antara ibu dan anak perempuannya.Â
Hubungan yang dalam kultur Jawa sarat ewuh pekewuh itu digugat'---menjadi semacam antonim dengan tokoh yang ditulis Camus. Adat istiadat dan kebudayaan menjadi alasan tersirat yang melatarbelakangi bagaimana penulis menggambarkan karakter tokoh dalam setiap tulisannya.Â
Maka tidak heran jika penulis tidak dapat lepas dari lingkungannya. Sebab saling terjadinya timbal balik inilah---yang dalam ilmu sains dinamakan simbiosis. Barangkali istilah ini cukup untuk memaknai bagaimana alur cerita keduanya memiliki kemiripan 'aksen'.
Berbeda dengan Pertiwi---sosok perempuan yang justru memerdekakan dirinya dengan mengorbankan jiwa dan raga semata-mata untuk membantu sesama. Ia mengedepankan kepentingan rakyat terutama golongan kaum tertindas dan lemah dengan menjadi bagian dari Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Pertiwi adalah tokoh utama yang sebagian besar diceritakan oleh penulis dengan berlembar-lembar surat yang dibuatnya untuk seorang terkasih; ibundanya.
Membaca novel seperti membaca sejarah masa lampau yang penuh lika-liku. Pembaca dihadapkan dengan persoalan yang membuahkan tanda tanya tentang bagaimana Gerwani, PKI, bahkan kejadian G30S PKI terjadi.Â
Ya, seperti membaca buku kuno yang penuh debu, cover buku ini mewakilkan kejadian masa lampau yang dialami seorang perempuan; berwarna coklat usang, polos dan terkesan "diam". Menyimbolkan bahwa sejarah di era modern seperti tertimbun---kerap diabaikan oleh generasi muda walaupun hanya sekadar dikenang sebagai cambukan semangat berbangsa dan bernegara.
Mengutip dari Wikipedia.org, Gerwani merupakan organisasi wanita yang aktif di Indonesia pada tahun 1950-an dan 1960-an. Oganisasi terlarang ini didirikan pada tahun 1950, dan memiliki lebih dari 650.000 anggota pada tahun 1957.Â
Kelompok ini memiliki hubungan yang kuat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), tetapi sebenarnya merupakan organisasi independen yang memperhatikan masalah-masalah sosialisme dan feminisme, termasuk reformasi hukum perkawinan, hak-hak buruh, dan nasionalisme Indonesia. Setelah kudeta 30 September 1965, Gerwani dilarang, dan di bawah Presiden Suharto organisasi ini mejadi contoh yang sering dikutip dari tindakan amoralitas dan gangguan selama era pra-1965.
Mengapa dikatakan terlarang? Mengutip pernyataan Pertiwi dalam surat yang ditulisnya pada 8 September 1965, isu penggabungan alasan sebagai perempuan dan sebagai pekerja adalah arah yang akhirnya kami bangun. Meski begitu, Gerwani sangat menghargai perbedaan dari dalam, yang ada di setiap jiwa perempuan itu sendiri. Ditilik dari segi pekerja itulah yang mendominasi alasan akhirnya Gerwani beraliansi ke komunis.Â
Jika akhirnya Gerwani terlihat sebagai salah satu ikon kekuatan komunis, itulah yang sejujurnya tidak kami sadari sebelumnya. Namun, kami tidak lantas menyesalinya karena pada dasarnya setiap perjuangan akan mengarah pada satu arah. Berkali-kali aku katakan, ini hanya masalah kesempatan. Kesempatan untuk menjadi yang terpilih di antara pilihan yang begitu banyak (hal. 49).
Membahas persoalan perempuan dan peranannya dalam melawan 'ketidakadilan', saya teringat Pearl S. Buck---perempuan Amerika Serikat namun lama tinggal di China pernah menulis AnginTimur: Angin Barat hingga memenangi Penghargaan Nobel Sastra dan Pulitzer Prize pada masanya.Â
Novel ini juga menceritakan sosok Kwei Lan menghadapi perubahan yang mengancam eksistensi adat dan budayanya China yang kental. Pada akhirnya diambillah kesimpullan bahwa pengorbanan dalam praktik mempertahankan kemanusiaan masing-masing kultur sangatlah berbeda.
Menjadi menarik ketika membahas persoalan lingkungan sebagai pondasi utama pembuatan cerita. Sebagaimana Tjap menceritakan durasi waktu yang cukup singkat; 1 September hingga 13 Oktober 1965 dalam sebuah catatan buku harian.Â
Kesan sejarah masa lampau yang biasanya tertulis menggebu dan akrab dengan luapan emosi justru tidak nampak ketika membaca buku ini. Sebab gaya penulisan yang dibuat santun---mengingat tata krama seorang anak kepada ibunya yang tertuang dalam sebuah surat. Maka lumrah apabila pembaca seolah dihadapkan dengan curahan hati seorang perempuan Jawa yang sarat dengan ewuh pekewuh.
Sebagai generasi milenial yang tidak lepas dari media sosial---instagram, saya menemukan kepanjangan Tjap: Tiap jiwa adalah pemenang pada akun @novel_tjap. Slogan ini tidak saya temukan dalam buku ini.Â
Namun saya sepakat, jika Yuditeha meloloskan anak katanya menjadi sebuah novel dengan mengandalkan Pertiwi bermain peran meskipun melalui tinta dan kata-kata. Bukti bahwa setiap manusia dapat mewujudkan kemenangan dengan caranya masing-masing. Sebagai penulis, Yuditeha seperti hendak mengatakan bahwa siapapun bebas menuliskan apa saja. Termasuk masa lalu (menegaskan kembali bahwa novel ini berkisah prahara tahun 60-an).
Usai membaca buku baru terbitan Basabasi ini, pikiran akan merupa pertanyaan yang berlesatan. Memancing pembaca untuk mencari tahu lebih mendalam perihal apa yang terjadi pada tubuh Gerwani---seperti rasa penasaran Pertiwi 'yang lain' dalam epilog.Â
Saya pikir, kebetulan adalah satu hal yang membahagiakan. Tapi tidak bagi Pertiwi; ia paling tidak suka dengan kebetulan (hal. 213). Penulis membuat kebetulan itu dengan cara yang 'menyebalkan'. Maka tidak heran jika Pertiwi harus patuh dengan perannya sebagai seorang perempuan---yang menulis juga membaca sepanjang peristiwa yang tersajikan.
Membaca Tjap secara keselurhan, saya mengimani bahwa belajar haruslah perlahan-lahan dan penuh kesabaran agar sampai pada pemahaman yang utuh. Termasuk belajar sejarah. Selainnya, saya mendapat pelajaran bahwa masa lalu bukan melulu persoalan yang patut untuk dilupakan. Lebih dari itu, sebagai bahan untuk kembali diambil hikmah dan pelajaran. Sebab, tiap jiwa adalah pemenang. Ya, tiap jiwa adalah pemenang!
Resensi ini telah dimuat Janang.id pada 6 Desember 2018
Judul           : Tjap
Pengarang     : Yuditeha
Penerbit       : Basabasi
Terbit          : Oktober 2018
Tebal          : 216 halaman
Ukuran         : 14×20 cm
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-602-5783-37-1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H