Jika akhirnya Gerwani terlihat sebagai salah satu ikon kekuatan komunis, itulah yang sejujurnya tidak kami sadari sebelumnya. Namun, kami tidak lantas menyesalinya karena pada dasarnya setiap perjuangan akan mengarah pada satu arah. Berkali-kali aku katakan, ini hanya masalah kesempatan. Kesempatan untuk menjadi yang terpilih di antara pilihan yang begitu banyak (hal. 49).
Membahas persoalan perempuan dan peranannya dalam melawan 'ketidakadilan', saya teringat Pearl S. Buck---perempuan Amerika Serikat namun lama tinggal di China pernah menulis AnginTimur: Angin Barat hingga memenangi Penghargaan Nobel Sastra dan Pulitzer Prize pada masanya.Â
Novel ini juga menceritakan sosok Kwei Lan menghadapi perubahan yang mengancam eksistensi adat dan budayanya China yang kental. Pada akhirnya diambillah kesimpullan bahwa pengorbanan dalam praktik mempertahankan kemanusiaan masing-masing kultur sangatlah berbeda.
Menjadi menarik ketika membahas persoalan lingkungan sebagai pondasi utama pembuatan cerita. Sebagaimana Tjap menceritakan durasi waktu yang cukup singkat; 1 September hingga 13 Oktober 1965 dalam sebuah catatan buku harian.Â
Kesan sejarah masa lampau yang biasanya tertulis menggebu dan akrab dengan luapan emosi justru tidak nampak ketika membaca buku ini. Sebab gaya penulisan yang dibuat santun---mengingat tata krama seorang anak kepada ibunya yang tertuang dalam sebuah surat. Maka lumrah apabila pembaca seolah dihadapkan dengan curahan hati seorang perempuan Jawa yang sarat dengan ewuh pekewuh.
Sebagai generasi milenial yang tidak lepas dari media sosial---instagram, saya menemukan kepanjangan Tjap: Tiap jiwa adalah pemenang pada akun @novel_tjap. Slogan ini tidak saya temukan dalam buku ini.Â
Namun saya sepakat, jika Yuditeha meloloskan anak katanya menjadi sebuah novel dengan mengandalkan Pertiwi bermain peran meskipun melalui tinta dan kata-kata. Bukti bahwa setiap manusia dapat mewujudkan kemenangan dengan caranya masing-masing. Sebagai penulis, Yuditeha seperti hendak mengatakan bahwa siapapun bebas menuliskan apa saja. Termasuk masa lalu (menegaskan kembali bahwa novel ini berkisah prahara tahun 60-an).
Usai membaca buku baru terbitan Basabasi ini, pikiran akan merupa pertanyaan yang berlesatan. Memancing pembaca untuk mencari tahu lebih mendalam perihal apa yang terjadi pada tubuh Gerwani---seperti rasa penasaran Pertiwi 'yang lain' dalam epilog.Â
Saya pikir, kebetulan adalah satu hal yang membahagiakan. Tapi tidak bagi Pertiwi; ia paling tidak suka dengan kebetulan (hal. 213). Penulis membuat kebetulan itu dengan cara yang 'menyebalkan'. Maka tidak heran jika Pertiwi harus patuh dengan perannya sebagai seorang perempuan---yang menulis juga membaca sepanjang peristiwa yang tersajikan.
Membaca Tjap secara keselurhan, saya mengimani bahwa belajar haruslah perlahan-lahan dan penuh kesabaran agar sampai pada pemahaman yang utuh. Termasuk belajar sejarah. Selainnya, saya mendapat pelajaran bahwa masa lalu bukan melulu persoalan yang patut untuk dilupakan. Lebih dari itu, sebagai bahan untuk kembali diambil hikmah dan pelajaran. Sebab, tiap jiwa adalah pemenang. Ya, tiap jiwa adalah pemenang!
Resensi ini telah dimuat Janang.id pada 6 Desember 2018