Benar, saya merasakan seorang Penyelong masuk ke dalam pikiran saya selaku pembaca. Ia seperti mengajak saya mendengarkan ceritanya dan bagaimana ia memancing di priok yang keruh dan hitam airnya, pertemuan hingga pisah dengan seorang perempuan manis di tengah malam yang sunyi, serta ketabahannya saat menyerahkan hasil tangkapan yang tak seberapa kepada perempuan bernama Orlean itu. Penyelonong itu, sekilas singgah ke dalam pikiran lalu nyelonong entah kemana.
Kedua, Cuk.
Saya tidak percaya ketika kudapati Cuk adalah seorang gadis kecil yang lincah. Ia tinggal dibelantara sunyi dekat dengan pemakaman tua yang jarang sekali terjamah oleh manusia. Sedangkan pedesaan terletak di bawah bukit tempat Cuk tinggal. Baginya tidak ada rasa takut sebagaimana anak-anak kecil lainnya. Ia dibesarkan di tempat yang menuntutnya menjadi seperti harimau, ular, buaya atau kelelawar. Inderanya tak pernah berhenti mengamati setiap gerak-gerik semesta meskipun hanya desah daun pun akar yang diam-diam memerobos tanah.
_________
Saya menghentikan tulisan ini setelah sadar bahwa Cuk sebenarnya jelmaan dari seorang gadis kecil serupa Senja. Tapi sebuah metafora tertangkap ketika hendak menelusuri sisi jiwa keduanya. Esensi cerita tetap sama, sedangkan implementasi takdir, barangkali hanya waktu dan Tuhan yang berhak menentukan.Â
Terima kasih telah membaca tulisan saya yang belum selesai ini.Â
Selamat menanti!
Jika tidak sabar, baca sendiri!
Tabik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H