Sebelum akhirnya tokoh cerita bertemu dalam situasi dan kondisi yang ragu-ragu, sedangkan pembaca telah dibawa penulis menuju tempat indah yang penuh bunga-bunga bermekaran di atas langit. Tentu ini sebuah perumpamaan untuk menggambarkan betapa eloknya alur hidup Alendra, Sheli, Helvinda, dan tokoh lainnya.
Ketika saya membaca bab demi bab, saya berharap mendapat kejutan dari penulis sampai membelalakkan mata pembaca sambil mengumpat, "Ah, sial!" Saya ingin dibohongi dengan alur cerita yang manis seperti cerita pembuka dalam novel ini.Â
Namun barangkali saya pun kurang hati-hati sehingga teledor menaruh kaca mata untuk tiba-tiba mengungkapkan keterkejutan itu. Nah, maka saya memilih terkejut secara diam-diam. "Ah, nyaris kena!" ucapku membatin. Cukup membatin saja.
Setidaknya, Anda akan kembali disuguhi pertanyaan semacam; Apakah tanpa pernah bertemu, kita dapat saling menjalin cinta? Apakah waktu dapat mengembalikan memori untuk kembali mengenang kejadian bersama orang-orang tersayang? Atau barangkali seperti Werner Heisenberg, yang saat menghadapi kematian di ranjangnya masih sempat berpikir bahwa jika ia bertemu dengan Tuhan kelak akan menanyakan dua hal, 'Mengapa relativitas? Mengapa turbulensi?' (hal 23).
Menulis dua pertanyaan di atas, saya merasa Einstein sedang berada di hadapan, sambil menyaksikan jemari saya mengetikkan tulisan ini bersama tuts keyboard yang tidak tahu kapan akan berhenti. Einstein, dengan menggulung benang berwarna merah hati, lalu tabung bambu berdiameter kira-kira 4 centimeter berada digenggaman yang menyentuh kulit keriputnya.
Saya takut menjadi objek baru penelitian Einstein. Sebelum gulungan benang semakin pendek, bacalah buku ini dan temukan banyak fakta ilmiah yang bahkan hanya dengan sekadar tersenyum, mampu membuat hatimu tenang.Â
Begitu kata Alendra mengingat penemuan Robert Zajonc bahwa ketika seseorang tersenyum, otot-otot wajah berkontraksi, mengurangi aliran darah menjadi dingin kemudian menurunkan temperatur dan memicu produksi serotonin. Serotonin inilah yang membuat otak menjadi tenang (hal 167).
Menjelang bagian-bagian terakhir buku ini, saya seolah disuguhkan dengan pernyataan yang tiba-tiba dari penulis. Saya menemukan penulis sedang mencari bolpoin untuk menulis, tapi yang ditemukan adalah pensil.Â
Dia tetap menggunakannya meskipun kurang jelas untuk dibaca. Padahal apabila tokoh ibu atau fungsi indera manusia, juga Helvina yang ternyata ialah Uci itu ditempatkan pada posisi yang tepat, saya rasa ini jauh lebih menarik. Tapi, saya selalu suka bagaimana penulis membisikkan nilai-nilai karakter ke telinga pembaca.
- Judul buku          : Anomali Hati
- Penulis              : Lubis Grafura
- Penerbit            : Mojok
- Tahun terbit        : Mei 2018
- Jumlah halaman    : 175 halaman
- ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-602-1318-67-6
Mutia Senja
Sragen, 4 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H