Imam Abu Hanifa berkata, tidak ada kewajiban zakat pada harta orang gila, sebesar apapun harta yang dimilikinya. Menurutnya, zakat adalah ibadah yang perintahnya ditujukan kepada pembayar zakat. Seorang yang gila, dia tak bisa memahami perintah itu, sehingga tidak ada kewajiban zakat atas hartanya walaupun telah cukup nishab (ukuran) dan sampai haul (jatuh tempo). Hal ini sesuai dengan ucapan Rasulallah SAW sebagaimana dikutip di atas. (2)
Sekarang lihat dalam paham demokrasi, orang gila didata untuk menjadi pemilih. Sedangkan yang dipilih atau caleg/capres/cawapres harus punya surat bebas dari sakit jiwa. Jika dilogika saja maka orang menjadi caleg dengan tes kejiwaan dan harus lulus tes kejiwaan, lha kok pemilihnya ada yang dari orang sakit jiwa.Â
Tidak masuk akal sama sekali, dan sepertinya banyak hal dalam demokrasi yang tidak masuk akal. Dan jika dilanjutkan maka akan dibalik di dalam agama juga akan dibilang ada yang tidak masuk akal, mending kita sudahi menggunakan akal, karena hanya akan akal-akalan saja akhirnya.Â
Kembali kepada dasar agama islam, bahwa orang gila itu dibebaskan dalam menjalankan kewajibannya sebagai hamba kepada ALLAH SWT. Sehingga kewajibannya kepada manusiapun juga dibebaskan.Â
Kenapa paham demokrasi justru mewajibkan orang gila menggunakan haknya. Lebih berbahaya orang yang gila jabatan dari pada orang gila beneran.Â
Orang gila jabatan bisa memobilisasi orang gila guna mendukung jabatannya, tapi orang gila beneran tidak pernah tahu apa itu jabatan dan tidak bisa membedakan baik buruk, salah dan benar.Â
Maka tidak selayaknya orang gila ikut menjadi peserta pemilu.Â
Tapi kenapa KPU menerima usulan agar ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) boleh memilih?
Landasan hukum utamanya adalah Undang-Undang (UU) No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif dan UU No 42/2012 tentang Pemilu Presiden.
Dalam kedua UU itu disebutkan bahwa peserta pemilu adalah warga negara yg telah berusia 17 tahun atau sudah menikah. Tidak ada pengecualian bagi ODGJ, karena ODGJ ada yang sifatnya permanen dan temporer.
Berikutnya adalah Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang diratifikasi Indonesia melalui UU No 19/ 2011. Di dalamnya dengan tegas menyatakan bahwa penyandang disabilitas (termasuk penderita disabilitas mental) mempunyai hak yang sama dengan warga negara lain dalam kehidupan bernegara, termasuk hak untuk memilih dalam pemilu. (3)