Abstrak
Hukum dalam pembahasan ini adalah hukum yang sengaja dibentuk (by designed) oleh negara, bukan hukum yang terjadi secara alamiah di dalam masyarakat, yang merupakan kristalisasi dari pergaulan antar manusia dalam masyarakat sebagai subjek hukum. Hukum dikenal denga hukum kebiasaan atau hukum adat dan yang kedua merupakan hukum agama, khususnya agama Islam dengan hukum Islamnya. Proses terbentuknya hukum kebiasaan atau hukum adat bersifat dari bawah ke atas (buttom-up) sedangkan proses terbentuknya hukum Islam bersifat dari atas ke bawah (top-down). Sama dengan sifat dari proses terbentuknya hukum islam adalah hukum yang dimaksud dalam pembahasan ini, yaitu hukum yang disebut dengan perundang-undangan negara, atau yang lazim juga dikenal dengan sebutan peraturan perundang-undangan. Hanya bedanya, untuk hukum Islam pembentuknya adalah Tuhan, sedangkan untuk hukum perundang-undangan pembentuknya adalah suatu Lembaga negara yang fungsi utamanya sebagai pembentuk hukum (legislative power). Peraturan perundang-undangan, memiliki kait mengair dengan kemanusiaan dan keadilan, baik dalam pembentukan, pelaksanaan, dan penegakan hukum. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan merunut sejak dari pembentukan negara, khususnya Indonesia, karena hukum tersebut merupakan salah satu dari implementasi fungsi negara. Negara dibentuk atas dasar motivasi terkait dengan kemanusiaan dan keadilan, sehingga tujuan dan dasarnya juga terkait dengan kemanusiaan dan keadilan. Negara dan hukum merupakan instrument kemanusiaan dan keadilan, oleh karenanya bernegara dan berhukum mesti mengaitkannya dengan kemanusiaan dan keadilan dan oleh karenanya pula tidakkah sudah cukup dalam perspektif instrumental tersebut, negara dan hukum itu sendiri tanpa kemanusiaan dan keadilan dalam melayani masyarakat.
Kata Kunci: Hukum, Keadilan Sosial, Constitutional Law
Pembahasan
Ketika suatu Masyarakat telah menegara maka Masyarakat tersebut memberikan kekuasaan kepada negara. Kekuasaan negara mengatasi kekuasaan lain yang ada di dalam Masyarakat, termasuk dalam kaitannya dengan hukum. Kekuasaan tersebut diberikan kepada negara supaya menjadi modal bagi negara dalam mencapai tujuan negara, yang pada hakekatnya adalah tujuan ersama dari masyarakat tersebut. Dalam perspektif negara demokrasi, untuk mencapai tujuan negara tersebut kekuasaan negara diselenggarakan oleh orang yang dipilih oleh Masyarakat untuk itu, sehingga hal yang paling nyata dalam penyelenggaraan kekuasaan negara tersebut adalah orang, baik sebagai oramng pribadi atau orang dalam pengertian secara kolektif kolegial sebagai suatu kesatuan penyelenggara negara. Dengan perkataan lain, pemegang kekuasaan negara sejatinya adalah orang juga.
Karakter orang yang memegang kekuasaan itu sendiri, sebagaimana kata Lord Acton, cenderung untuk korup atau sewenang-wenang. Oleh karena itu, manakala seorang atau beberapa orang itu diberikan kekuasaan yang mutlak maka kecenderungan untuk korupnya atau kesewenang-wenangnya mutlak juga (power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutely). Oleh karena itu maka kekuasaan dalam negara, yang salah satu implementasinya terkait dengan hukum, supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan maka kekuasaan itu dibagi atau dipisahkan menjadi tiga kekuasaan utama negara, yaitu kekuasaan negara pembentuk huku (legislative), kekuasaan negara penyelenggara pemerintahan negara berdasarkan hukum (executive), dan kekuasaan negara penyelenggara peradilan (judicial) guna menyelesaikan sengketa hukum.
Keadilan sosial merupakan tampilan lain dari keadilan. Seperti juga hukum, konsep mengenai keadilan telah dikemukakan oleh banyak ahli sesuai sudut pandang masing-masing namun substansinya adalah mengenai sikap moral yang benari terkait dengan hubungan antar manusia dalam kehidupan bersama di dalam masyarakat atau negara. Pengertian adil sendiri adalah tidak memihak, dan bisa juga berpihak pada yang benar.
Persoalan hukum dan keadilan mencuat ketika hukum menjadi urusan negara. Hal demikian terjadi karena hukum menjadi suatu yang sengaja dibentuk (by design) oleh kekuasaan negara, sehingga hukum merupakan substansi buatan yang artifisial. Ketika itulah terjadi polarisasi antara negara dengan hukumnya dan Masyarakat dengan keadilannya. Hukum sendiri, keadilan sendiri, sehingga mencuatlah pertanyaan, apakah hukum itu telah menggantikan keadilan.
Dalam perjalanannya hukum sebagai produk dari para ahli dan yang mendapat legalitasnya dari negara, sehingga hukum itu artifisial, mendapat tangapan sebagai akibat dari “jauhnya” hukum itu dari apa yang menjadi keinginan atau kepentingan masyarakat, termasuk di dalamnya kepentingan tentang keadilan, karena sifat prosesnya yang top down dan bersamaan dengan itu membuang peluang terjadinya hukum yang mengabdi kepada kepentingan rezim penguasa (yang membentuknya) melalui fungsi instrumentalnya. Tanggapan tersebut dipelopori oleh Von Savigny dengan teori volkgeist-nya yang menyatakan, “Hukum sejati tidak dibuat, tapi ditemukan di dalam pergaulan Masyarakat, karena antara hukum sejati dan jiwa rakyat terhadap hubungan organic. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratifnya terhadap hukum sejati”.
Hukum dengan pengertiannya demikian, yaitu “hukum yang terbentuk melalui proses legislasi adalah hukum manakala sifat deklaratifnya terhadap hukum sejati”, pada abad ke 20 bergeser sedikit, yaitu kea rah kemanusiaan dan keadilan yang kemudian memperoleh perumusannya yang lebih konkret menjadi keadilan sosial.
Dalam Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945, yaitu, ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, dan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. dengan demikian, kedaulatan berada di tangan rakyat dan segala sikap tindakan yang dilakukan ataupun diputuskan oleh lembaga negara dan masyarakat haruslah didasarkan pada aturan hukum. dalam konteks negara hukum, kedaulatan rakyat Indonesia didelegasikan melalui peran lembaga perwakilan yang ada dalam hal ini adalah kelembagaan negara dengan menggunakan sistem perimbangan kekuasaan “check and balances” antar badan legislative, eksekutif, dan yudikatf sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan.
Kesimpulan
Dasar hubungan antar bangsa dilengkapi dengan dasar implementasinya, beradab, yaitu hubungan antar bangsa dan berbudaya, yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme universal dan dengan megindahkan budaya nasional masing-masing. Keadilan yang terakhir dalam pembukaan UUD 1945 termuat di dalam dasar negara kelima dengan rumusan yang selengkapnya “serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan rumusan yang demikian maka beralasan untuk dikatakan, selain sebagai penyelenggaraan negara dan hukum haruslah berdasarkan perpaduan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang berbasis pada salah satu kosmologi bangsa Indonesia, kolektivisme. Atas dasar demikian maka negara merupakan kerangka Kerjasama bangsa, sehingga tujuan negara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan Bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H