Bulan Ramadhan telah meninggalkan kita dan sebentar lagi bulan Syawal juga akan meninggalkan kita. Sudah sampai mana jejak-jejak ibadah kita langkahkan? Menanjak, datar, atau menurun?
Syawal secara bahasa bermakna peningkatan atau lompatan, dimaksudkan kepada meningkatnya kualitas diri, meningkatnya perilaku ibadah baik secara kuantitas maupun kualitas jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yakni bulan Ramadhan. Namun, yang banyak terjadi di bulan Syawal adalah menurunnya motivasi untuk beribadah seakan-akan Syawal adalah bulan 'rehat' dari padatnya kegiatan ibadah di bulan Ramadhan.Â
Pula dengan asosiasi bahwa 1 Syawal hanya sebagai hari libur nasional, hari dimana bisa bebas makan-minum, hari dimana bisa bebas melakukan hal-hal lain yang selama bulan Ramadhan yang dilarang untuk dilakukan, dan gawatnya libur pula dari ketaatan. Bahkan ada juga yang mabuk-mabukan di malam takbiran, di tengah sahut-sahutan manusia yang membesarkan asma Allah. Lalu apa bedanya manusia dengan iblis yang selama bulan Ramadhan dikekang?Â
Tak harus membandingkan diri dengan orang yang mabuk-mabukan itu, bagi Muslim Indonesia termasuk diri kita sendiri, apa makna yang kita bangun terhadap hari Lebaran? Apa itu Idul Fitri? Apa makna takbir yang dilantunkan sejak maghrib sampai tuntas sholat Ied?Â
Tradisi Idul Fitri di IndonesiaÂ
Budaya membawa kita untuk mengasosiasikan Idul Fitri dengan mudik, pulang kampung, dan momen berkumpul dengan keluarga. Bahkan mungkin juga dengan baju baru, alas kaki baru, ketupat, opor, kue dan cemilan dalam toples-toples cantik. Lantunan takbir hanyalah satu pelengkap yang menghangatkan suasana malam Idul Fitri. Hal ini bukanlah sesuatu yang salah, karena kegembiraan ini adalah juga karunia Allah bagi orang yang berpuasa. Tapi, jangan sampai asosiasi ini melunturkan, menggeserkan, mengalihkan cara pandang seorang Muslim terhadap makna hari raya Idul Fitri.Â
Dampak dari pemaknaan Idul Fitri ini nampak terasa ketika Idul Fitri hanya dimaknai sebagai tradisi, suasana yang dirindukan, juga kebebasan dari segala aturan Ramadhan yang mengikat. Pemaknaan tersebut dapat memunculkan perilaku beribadah di bulan Syawal yang kendor, lalai, tidak ada bedanya seperti perilaku beribadah sebelum menjalani Ramadhan atau malah menurun. Padahal seharusnya, setelah dilatih satu bulan penuh, ada perubahan positif yang dimunculkan dan menghasilkan peningkatan. Â
Dengan fenomena ini saya ingin mengajak Kompasioner untuk memahami proses mental manusia dari sudut pandang psikologi: dari pembentukan makna dan bagaimana hal itu dapat berpengaruh terhadap motivasi.Â
Jenis MotivasiÂ
Motivasi adalah dorongan yang memberi tujuan atau arah pada perilaku manusia. Motivasi dapat dibedakan menjadi dua jenis: ekstrinsik dan intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang muncul pada diri seseorang ketika individu mengharapkan adanya reward yang diberikan lingkungan. Motivasi jenis ini naik turunnya akan sangat tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan.Â
Motivasi intrinsik, sebaliknya, digerakan oleh sumber energi dalam diri. Bentuknya dapat berupa rasa puas dan bahagia karena telah memenuhi kebutuhan rasa ingin tahu, pencapaian, independensi, kompetensi, ketertarikan, kreativitas, dan hal-hal lain yang semuanya bersumber dalam diri. Sehingga motivasi jenis ini tidak bergantung pada pemberian lingkungan. Tidak diawasi pun, tidak dipuji pun, tidak digaji pun, motivasi ini tetap bertahan dan berdikari.Â