Mohon tunggu...
Muthia D. Santika
Muthia D. Santika Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog

Mengintegrasikan keilmuan psikologi konvensional dengan prinsip Islam untuk memberikan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan unik setiap individu, sehingga mereka dapat menjalani hidup yang lebih sehat, bermakna, bahagia di dunia dan akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Apakah Ada Titik Temu antara Islam dan Psikologi?: Perkembangan dan Penerapan Psikologi Islam di Indonesia

5 April 2023   12:20 Diperbarui: 5 April 2023   12:46 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Pexels/Meruyert Gonullu) 

Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Alquran) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman 

(QS Yunus:57)

Ayat ini memahamkan kita bahwa al Qur’an adalah penyembuh bagi segala penyakit hati, atau yang dewasa ini dibahasakan dengan penyakit mental. Seluruh perintah yang tertulis dalam Al Qur’an adalah teknik-teknik terapi yang cocok dengan kondisi manusia, sesuai pula dengan kebutuhannya, sehingga bisa menyembuhkan semua penyakit mental. Jika saja manusia mau meyakini dan menjalankannya dengan ikhlas. Di sisi lain, pendekatan psikologi kontemporer/psikologi Barat/psikologi sekuler lebih sering wara wiri di dunia nyata dan maya, dan sebagai dampaknya menjadi lebih populer daripada pendekatan Islam juga lebih diyakini sebagai cara yang ampuh untuk menyembuhkan penyakit mental. 

Untuk menjawab problematika ini—terutama di Indonesia, sejak puluhan tahun yang lalu telah lahir integrasi antara psikologi dan Islam. Seiring dengan berkembangnya aliran psikologi positif yang menggarisbawahi mengenai aspek spiritualitas juga religiusitas manusia. Sebagai kritik atas konsep dasar manusia yang hanya terdiri dari dimensi fisik dan psikis saja.

“Man lives in three dimensions: the somatic, the mental, and the spiritual. The spiritual dimension cannot be ignored, for it is what makes us human”

Victor Frankl

Benar adanya bahwa teori-teori psikologi Barat yang cenderung sekuler lahir dari akal manusia sehingga tidak semua teori psikologi ini bisa kita telan bulat-bulat. Namun tidak juga seluruhnya tidak dapat diterima dari kacamata Islam. Karena itu dibutuhkan integrasi antara psikologi barat dan Islam untuk memilah mana saja konsepsi yang tidak sesuai dengan al Qur’an dan sunnah. Integrasi ini dinamakan dengan psikologi Islami. Islami? Mengapa tidak psikologi Islam? Terdapat dua cara pandang yang berbeda dalam memahami psikologi dan Islam di Indonesia. Yang pertama adalah pendekatan psikologi Islam. Yang kedua adalah pendekatan psikologi Islami.

Memahami Perbedaan Psikologi Islam dan Psikologi Islami

Psikologi Islam adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia, membangun pemahaman konsep dasar filsafat dan teori kepribadian manusia dengan metodologi dan pendekatan masalah yang dasar pemahamannya diambil dari sumber-sumber formal Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist, akal, indera dan intuisi. Cara pandang ini menggunakan metode Idealistik dalam pengembangan kajiannya. Metode idealistik adalah metode yang lebih mengutamakan penggalian Psikologi Islam dari ajaran Islam sendiri. Melalui metode ini terciptalah apa yang disebut dengan psikologi Islam (tanpa huruf “I” yang mengiringi kata “Islam’) (Yudiani, 2013).

Psikologi Islami merupakan konsep psikologi modern yang telah disaring dengan prinsip-prinsip Islam dalam al Qur’an dan hadist. Psikologi Islami ialah perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan membuang konsep-konsep yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Islam. Metode pendekatan kajian psikologi Islami tetap menggunakan syarat-syarat ilmiah yang dinamakan metode pragmatis. Metode Pragmatis adalah metode yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya. Teori-teori psikologi Barat yang telah mapan dicarikan kemiripannya, kesuaiannya, kesamaannya, dengan isi Al-Qur’an dan Hadist sehingga dapat diterapkan teknik-tekniknya secara lebih luas pada masyarakat. Hasil penelitian empiris dari psikologi kontemporer menjadi penunjang untuk membuktikan kebenaran Islam. Metode ini akan menghasilkan rumusan yang lazim disebut dengan “psikologi Islami”, bukan psikologi Islam (Yudiani, 2013). Psikologi Islami dikembangkan sebagai pendekatan alternatif atas psikologi kontemporer yang lahir dari kesadaran adanya kerugian dari kesenjangan antara sains dengan agama (Bastaman, 2005).

Kedua pendekatan ini pada awalnya seakan terpisah, memiliki paham masing-masing yang tidak dapat disatukan. Menurut Bastaman (2005) pendekatan psikologi Islam lahir dari ahli-ahli dalam ilmu keagamaan, namun penguasaan keilmuan psikologi kontemporer dan pengalaman menghadapi problema psikologis bisa jadi tidak sebanyak ahli-ahli yang mengusung psikologi Islami. Meskipun pemahaman agama para ahli di pendekatan psikologi Islami tidak seluas dan sedalam para ahli di pendekatan pertama, metode ilmiah dalam psikologi Islami tetap dibutuhkan untuk menjabarkan kalam Allah dan sunnah Rasulullah saw menjadi lebih membumi (praktis) sehingga mudah dicerna oleh penerima. Kerjasama antara dua kelompok ini akan menghasilkan sinergi yang luar biasa dalam pengembangan psikologi Islam (Bastaman, 2005). Kurang lebih sepuluh tahun kemudian, Asosiasi Psikologi Islami menyelenggarakan Pelantikan dan Rapat Kerja di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang salah satu hasil keputusannya adalah menyatukan pendekatan psikologi Islam dan Islami di bawah payung Asosiasi Psikologi Islam atas dasar kesamaan menempatkan al-Qur’an dan Hadist sebagai prinsip dan memutuskan bahwa psikologi Islam sebagai bagian dari psikologi kontemporer (Munawwir, 2016).

Penerapan Psikologi Islam dalam Praktik Psikolog

Masyarakat Muslim Indonesia dewasa ini, terutama kaum muda, cenderung asing terhadap bahasan aqidah bahkan tata cara/syariat Islam. Sebagai dampak Islamophobia yang masih digaungkan di sana sini, dengan embel-embel fanatik, eksklusif, ketinggalan zaman, kuno, bahkan sampai menyerempet isu radikalisme. Prinsip Islam juga ‘terpinggirkan’ oleh isme-isme lain yang menawarkan jalan hidup yang lebih pragmatis dan hedonis. Kita tidak bisa menutup mata akan hal itu. Fenomena ini pulalah yang ditemukan dalam praktik psikolog, ditambah dengan 'doktrin' dari psikologi Barat yang menyatakan bahwa praktik psikolog harus bebas dari nilai-nilai agama.   

Berdasarkan pengalaman penulis sebagai psikolog, solusi yang berbasis keimanan dan praktik ibadah tidak selamanya bisa langsung diterima oleh klien yang sedang menghadapi masalah atau kondisi mental tertentu, meskipun klien tersebut beragama Islam. Hal ini bergantung pada latar belakang klien, seperti pemahaman dan cara pandangnya terhadap agama, riwayat pendidikan, pola asuh dalam keluarga, kesediaan untuk membuka diri, kesediaan untuk berubah, berat-tidaknya gangguan mental yang dialami dan masih banyak lagi. Sehingga dalam ruang praktik psikolog, nilai-nilai iman dan praktik ibadah ini (tetap) perlu disampaikan secara halus dan fleksibel.

Bukan hanya untuk klien dalam ruang praktik psikolog, untuk masyarakat umum di masa kini pun cara penyampaian konten-konten keagamaan terutama Islam perlu digarap sedemikian rupa agar dapat diterima dan efektif penyampaiannya dengan tujuan meminimalisir penolakan. Begitupun dalam keilmuan dan lingkup para akademisi, ketika kebenaran versi manusia hanya bisa didapatkan dari hasil riset yang harus dilakukan secara empiris dan objektif. Yang ini membuat cakupan ‘kebenaran’ menjadi sempit dan orang-orang cenderung lebih percaya dengan adanya hasil penelitian. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena hasil penelitian dan kajian ilmu justru dibutuhkan untuk meyakinkan manusia akan kebesaran Allah. Yang salah adalah ketika hasil penelitian menjadi satu-satunya tolok ukur kebenaran. Kalau tidak empiris, tidak bisa diukur, anggap saja tidak ada. Padahal banyak sekali diluar sana, bahkan di atas bumi yang kita injak, fenomena alam yang masih tidak bisa diungkapkan dengan riset dan alat paling canggih yang diciptakan manusia, termasuk fenomena fisik, psikis, spiritual yang tidak mampu dikupas oleh metode penelitian manapun. Hal ini ada sebagai bukti-bukti kebesaran Allah, sebagai bukti bahwa manusia memiliki keterbatasan kognitif, sebagai bukti bahwa ada kekuatan yang mengatur segalanya, sebagai bukti bahwa manusia diciptakan untuk tunduk pada kekuasaan yang lebih besar.

Sehingga tugas para ahli dalam berbagai bidang (bukan hanya psikologi) kini adalah bagaimana berdakwah, meningkatkan kualitas manusia di hadapan Allah, kualitas hidupnya, kebahagiaan di dunia dan akhiratnya, kesehatan fisik dan mentalnya dengan hajron jamila. Berdakwah dengan cara yang baik, cantik, luwes, cocok dengan kebutuhan penerima sehingga dapat membuka mata mereka mengenai keindahan Islam, Kemahabesaran Allah, sehingga dapat mewujudkan cita-cita terimplementasikannya Islam yang rahmatan lil alamin.

Sumber:

Bastaman, HD. (2005). DARI KALAM SAMPAI KE API: Psikologi Islami Kemarin, Kini, Esok. Jurnal Psikologi Islami, 1(1), Juni (2005): 5-16.

Munawwir, MSA. (2016). API: Dari Psikologi Islami ke Psikologi Islam. Diakses 5 April 2023 dari https://hidayatullah.com/artikel/opini/2016/05/05/94301/api-dari-psikologi-islami-ke-psikologi-islam-1.html

Yudiani, Ema. (2016). Pengantar Psikologi Islam. JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor 2/175-186.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun