Mohon tunggu...
Muthia D. Santika
Muthia D. Santika Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog

Mengintegrasikan keilmuan psikologi konvensional dengan prinsip Islam untuk memberikan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan unik setiap individu, sehingga mereka dapat menjalani hidup yang lebih sehat, bermakna, bahagia di dunia dan akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Apakah Ada Titik Temu antara Islam dan Psikologi?: Perkembangan dan Penerapan Psikologi Islam di Indonesia

5 April 2023   12:20 Diperbarui: 5 April 2023   12:46 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Pexels/Meruyert Gonullu) 

Kedua pendekatan ini pada awalnya seakan terpisah, memiliki paham masing-masing yang tidak dapat disatukan. Menurut Bastaman (2005) pendekatan psikologi Islam lahir dari ahli-ahli dalam ilmu keagamaan, namun penguasaan keilmuan psikologi kontemporer dan pengalaman menghadapi problema psikologis bisa jadi tidak sebanyak ahli-ahli yang mengusung psikologi Islami. Meskipun pemahaman agama para ahli di pendekatan psikologi Islami tidak seluas dan sedalam para ahli di pendekatan pertama, metode ilmiah dalam psikologi Islami tetap dibutuhkan untuk menjabarkan kalam Allah dan sunnah Rasulullah saw menjadi lebih membumi (praktis) sehingga mudah dicerna oleh penerima. Kerjasama antara dua kelompok ini akan menghasilkan sinergi yang luar biasa dalam pengembangan psikologi Islam (Bastaman, 2005). Kurang lebih sepuluh tahun kemudian, Asosiasi Psikologi Islami menyelenggarakan Pelantikan dan Rapat Kerja di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang salah satu hasil keputusannya adalah menyatukan pendekatan psikologi Islam dan Islami di bawah payung Asosiasi Psikologi Islam atas dasar kesamaan menempatkan al-Qur’an dan Hadist sebagai prinsip dan memutuskan bahwa psikologi Islam sebagai bagian dari psikologi kontemporer (Munawwir, 2016).

Penerapan Psikologi Islam dalam Praktik Psikolog

Masyarakat Muslim Indonesia dewasa ini, terutama kaum muda, cenderung asing terhadap bahasan aqidah bahkan tata cara/syariat Islam. Sebagai dampak Islamophobia yang masih digaungkan di sana sini, dengan embel-embel fanatik, eksklusif, ketinggalan zaman, kuno, bahkan sampai menyerempet isu radikalisme. Prinsip Islam juga ‘terpinggirkan’ oleh isme-isme lain yang menawarkan jalan hidup yang lebih pragmatis dan hedonis. Kita tidak bisa menutup mata akan hal itu. Fenomena ini pulalah yang ditemukan dalam praktik psikolog, ditambah dengan 'doktrin' dari psikologi Barat yang menyatakan bahwa praktik psikolog harus bebas dari nilai-nilai agama.   

Berdasarkan pengalaman penulis sebagai psikolog, solusi yang berbasis keimanan dan praktik ibadah tidak selamanya bisa langsung diterima oleh klien yang sedang menghadapi masalah atau kondisi mental tertentu, meskipun klien tersebut beragama Islam. Hal ini bergantung pada latar belakang klien, seperti pemahaman dan cara pandangnya terhadap agama, riwayat pendidikan, pola asuh dalam keluarga, kesediaan untuk membuka diri, kesediaan untuk berubah, berat-tidaknya gangguan mental yang dialami dan masih banyak lagi. Sehingga dalam ruang praktik psikolog, nilai-nilai iman dan praktik ibadah ini (tetap) perlu disampaikan secara halus dan fleksibel.

Bukan hanya untuk klien dalam ruang praktik psikolog, untuk masyarakat umum di masa kini pun cara penyampaian konten-konten keagamaan terutama Islam perlu digarap sedemikian rupa agar dapat diterima dan efektif penyampaiannya dengan tujuan meminimalisir penolakan. Begitupun dalam keilmuan dan lingkup para akademisi, ketika kebenaran versi manusia hanya bisa didapatkan dari hasil riset yang harus dilakukan secara empiris dan objektif. Yang ini membuat cakupan ‘kebenaran’ menjadi sempit dan orang-orang cenderung lebih percaya dengan adanya hasil penelitian. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena hasil penelitian dan kajian ilmu justru dibutuhkan untuk meyakinkan manusia akan kebesaran Allah. Yang salah adalah ketika hasil penelitian menjadi satu-satunya tolok ukur kebenaran. Kalau tidak empiris, tidak bisa diukur, anggap saja tidak ada. Padahal banyak sekali diluar sana, bahkan di atas bumi yang kita injak, fenomena alam yang masih tidak bisa diungkapkan dengan riset dan alat paling canggih yang diciptakan manusia, termasuk fenomena fisik, psikis, spiritual yang tidak mampu dikupas oleh metode penelitian manapun. Hal ini ada sebagai bukti-bukti kebesaran Allah, sebagai bukti bahwa manusia memiliki keterbatasan kognitif, sebagai bukti bahwa ada kekuatan yang mengatur segalanya, sebagai bukti bahwa manusia diciptakan untuk tunduk pada kekuasaan yang lebih besar.

Sehingga tugas para ahli dalam berbagai bidang (bukan hanya psikologi) kini adalah bagaimana berdakwah, meningkatkan kualitas manusia di hadapan Allah, kualitas hidupnya, kebahagiaan di dunia dan akhiratnya, kesehatan fisik dan mentalnya dengan hajron jamila. Berdakwah dengan cara yang baik, cantik, luwes, cocok dengan kebutuhan penerima sehingga dapat membuka mata mereka mengenai keindahan Islam, Kemahabesaran Allah, sehingga dapat mewujudkan cita-cita terimplementasikannya Islam yang rahmatan lil alamin.

Sumber:

Bastaman, HD. (2005). DARI KALAM SAMPAI KE API: Psikologi Islami Kemarin, Kini, Esok. Jurnal Psikologi Islami, 1(1), Juni (2005): 5-16.

Munawwir, MSA. (2016). API: Dari Psikologi Islami ke Psikologi Islam. Diakses 5 April 2023 dari https://hidayatullah.com/artikel/opini/2016/05/05/94301/api-dari-psikologi-islami-ke-psikologi-islam-1.html

Yudiani, Ema. (2016). Pengantar Psikologi Islam. JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor 2/175-186.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun