Stoicism atau stoikisme adalah salah satu aliran filsafat yang fokus pada bagaimana memunculkan kebahagiaan dalam diri manusia. Filosofi stoic berevolusi dari waktu ke waktu. Yang pada kelahirannya fokus pada logika dan fisik, kini beralih ke hal-hal yang bersifat psikis seperti ketenangan dan kesejahteraan. Sehingga para stoic (penganut filosofi stoicism) tidak hanya membenarkan ide-ide filosofisnya saja namun juga mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Prinsip utama filsafat ini diantaranya adalah:
1. Memisahkan antara apa-apa dalam kehidupan ini yang tidak dapat dikendalikan dan apa-apa dalam kehidupan yang bisa dikendalikan. Yang kemudian menjadi ruang bagi manusia untuk memilih. Karena ada banyak hal dalam kehidupan yang ada di luar kendali manusia, maka jika manusia mengkhawatirkan hal tersebut akan menyebabkan kehidupan yang kurang produktif, tidak rasional dan membuang-buang energi. Energi yang ada sebaiknya digunakan untuk fokus pada upaya pencarian solusi dari masalah dibandingkan pada masalah itu sendiri.
2. Menahan diri dari gaya hidup konsumtif demi mengendalikan dorongan ketidakpuasan atas apa yang sudah dimiliki. Banyak orang menginginkan benda-benda yang tidak mereka miliki dan dampaknya adalah membuat manusia tidak mensyukuri apa yang mereka miliki. Kepemilikan akan mengarahkan kepada keinginan untuk memiliki yang lebih dan akan terus seperti itu. Karena itu para stoic mencoba meningkatkan kesadaran akan apa yang dimiliki agar melahirkan rasa syukur. Beberapa stoic bahkan membiasakan untuk puasa beberapa hari dalam satu bulan untuk menahan keinginan konsumtif dan menyadari rasa lapar.
3. Memento mori atau mengingat bahwa hidup akan berakhir dengan kematian. Dengan selalu mengingat kematian, manusia akan terdorong untuk selalu bersyukur dan fokus pada tindakan-tindakan bijak. Karena itu pula kekayaan dan kemakmuran bukan menjadi yang penting, melainkan memiliki karakter baik adalah yang utama. Seseorang telah menjalani kehidupan yang baik jika ia telah behave virtuously atau berperilaku bijak, berbudi luhur, saleh maka ia tidak perlu mengkhawatirkan apa yang terjadi diluar dirinya terutama apa yang ada diluar kendalinya.
Konsep Stoicism dalam Islam
Hal pertama yang diajarkan kepada muslim sejak kecil adalah rukun iman. Yaitu mengenai apa saja yang harus kita percayai dan yakini. Salah satu hal yang harus diyakini adalah qada dan qadar atau takdir.
Dalam Islam, ada dua area besar dalam kehidupan manusia yakni area dimana manusia dapat memilih tindakan-tindakannya (ikhtiar) dan area dimana manusia tidak dapat memilih apa yang terjadi dalam kehidupannya (takdir). Pernahkah kita memilih satu diantara dua atau lebih pilihan dalam hidup kita? Pernahkah kita mengalami kegagalan meskipun kita sudah melakukan upaya yang optimal? Pernahkah kita mendapatkan keberuntungan yang tidak pernah diduga/direncanakan sebelumnya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini merupakan bukti eksistensi dua area dalam kehidupan manusia.
Lalu bagaimana pedoman Islam untuk manusia dalam menyikapi dua area tersebut?
Area Ikhtiar
Area pertama dimana manusia dapat memilih tindakan-tindakannya adalah area ikhtiar, seorang muslim diwajibkan untuk melakukan ikhtiar/upaya terbaik dengan menggunakan semua potensi yang Allah berikan yakni akal, ruh dan jasad dengan tidak melewati batasan-batasan syariat yang sudah ditetapkan Allah (istilah dalam filsafat stoicismnya: behave virtuously). Manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan mana yang akan dilalui. Dengan menggunakan potensi akalnya, manusia akan mampu mengenali mana jalan yang benar dan yang salah. Kecenderungan bawaan (fitrah) akan selalu mengarahkan manusia pada jalan yang benar. Pilihan manusia inilah yang nanti akan dipertanggungjawabkan oleh manusia itu sendiri.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَا لْمُؤْمِنُوْنَ ۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَا لشَّهَا دَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
"Dan katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."
(QS. At-Taubah 9: Ayat 105)
Ayat ini menunjukkan kewajiban manusia untuk bekerja dan berusaha. Dalam usahanya tersebut, benar-salah pilihannya Allah selalu mengetahui. Dan hasil upaya manusia tersebut dikembalikan, diserahkan kepada Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa untuk menetapkan hasil yang terbaik untuk makhluk-Nya. Ayat ini pula yang menghantarkan pembahasan kita pada area kedua: area takdir.
Area Takdir
Area kedua adalah area takdir atau ketetapan Allah dimana manusia tidak akan bisa mengendalikannya, sekuat apapun manusia berusaha. Contohnya dalam hal kelahiran manusia. Kita tidak mampu mengendalikan dimana kita akan dilahirkan, dengan warna kulit apa, dari suku bangsa apa, dan dari keluarga mana. Termasuk juga hasil dari upaya-upaya kita, yang seluruhnya ada di bawah kekuasaan Allah. Islam mengajarkan bagaimana cara kita mengantisipasi takdir, yaitu dengan tawakal. Berserah dan berpasrah.
Jika manusia mempermasalahkan hal-hal yang tidak bisa diubah, justru itulah yang akan menimbulkan masalah. Sehingga takdir yang ditetapkan Allah pada diri kita tidak akan diminta pertanggungjawabannya, namun respon kita terhadap takdir itulah yang akan dipertanggungjawabkan karena manusia mampu sepenuhnya memilih dan mengendalikan reaksinya terhadap takdir.
Salah satu takdir Allah adalah terbatasnya usia manusia, tidak ada satupun manusia di dunia ini yang kekal hidupnya. Namun batasan waktu itu dirahasiakan dari manusia agar manusia dapat mengupayakan hidup terbaik, mengoptimalkan ibadah di setiap waktu demi akhir hidup yang khusnul khatimah. Sehingga apa yang berarti dalam kehidupan bukanlah harta dan tahta melainkan amalan yang dilakukan selama hidup. Amalan yang sesuai dengan perintah Allah dan dijalankan dengan ikhlas.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّا سِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَآءِ وَا لْبَـنِيْنَ وَا لْقَنَا طِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَا لْفِضَّةِ وَا لْخَـيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَا لْاَ نْعَا مِ وَا لْحَـرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَا عُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚ وَا للّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰ بِ
"Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 14)
Mengapa konsep-konsep pemikiran yang datang dari barat dengan istilah asing lebih laris dianut, tapi konsep-konsep Islam dianggap kuno dan kaku? Padahal dalam Islam pedoman kehidupan untuk manusia agar dapat menjalani hidup dan kehidupan setelah hidup dengan sejahtera dan bahagia jauh lebih lengkap daripada stoicism atau aliran filsafat manapun.
Ketika kecil mudah saja bagi kita untuk menghapal rukun iman dengan menggunakan lagu, tidak menyadari betapa megah dan kompleks hal itu bisa diurai menjadi konsep ideologi, konsep yang dapat membentuk cara berpikir dan memandang setiap kejadian dalam kehidupan, konsep yang akan mengarahkan pada tindakan mana yang harus dipilih dan akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan lahir-batin dunia-akhirat manusia itu sendiri. Namun sayangnya di usia yang sudah matang, sedikit sekali muslim yang mau mendalami kemegahan konsep iman dalam Islam sehingga pemahamannya menjadi tidak jauh berbeda seperti seorang anak yang sedang bersenandung, menghapalkan lagu rukun iman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H