Pelabuhan Merak pada masa itu dikelola oleh Staatsspoorwegen (SS). Staatsspoorwegen adalah sebuah perusahaan kereta api milik pemerintah Kerajaan Belanda. Perusahaan yang berdiri pada tahun 1875 ini membangun jalur-jalur kereta api yang berada di Pulau Jawa dan Sumatera. Termasuk jalur kereta Api dari Tanah Abang sampai ke Merak.
Selain melayani penumpang yang hendak menyebrang ke Pulau Sumatera, pada masa itu Pelabuhan Merak juga menjadi pelabuhan yang berperan melayani pengangkutan barang dan jasa. Bahkan, barang-barang hasil pertanian dan perkebunan dari Banten yang hendak diekspor ke luar negeri juga melelaui pelabuhan ini.Â
Pelabuhan Merak dikatakan sebagai pelabuhan perintis penyeberangan antarpulau di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan M. Halwi Dahlan dalam artikelnya di Jurnal Patanjala (Vol.2 No.1, Maret 2010) yang berjudul Pelabuhan Penyebrangan Merak (1956-2004), bahwa ketika dibuka pada tahun 1912, Pelabuhan Merak menjadi satu-satunya pelabuhan penyeberangan dari Pulau Jawa (Merak) ke Pulau Sumatera (Panjang). Hal ini menjadikan Pelabuhan Merak sebagai pelabuhan perintis yang beroperasi sebagai pelabuhan penyeberangan antarpulau. Barulah, pada tahun 1913 pemerintah Hindia Belanda membangun Pelabuhan Kamal di Jawa Timur.Â
Namun, jangan dibayangkan bentuk bangunan Pelabuhan Merak di masa awal-awal dengan bangunan Pelabuhan Merak hari ini. Dalam beberapa sumber dikatakan, bentuk Pelabuhan Merak awal-awal masih sangat sederhana. Bahkan bahan  baku bangunan dermaganyapun terbuat dari batang pohon kelapa. Ini sangat memungkinkan, karena saat itu sekitaran Pelabuhan Merak banyak tumbuhi pohon kelapa.Â
Pelabuhan Merak: Dari PNKA hingga ASDP
Pada masa Orde Lama, di tahun 1957, pengelolaan Pelabuhan Merak dipegang oleh Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Perusahaan kereta api ini nanti bertransformasi menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada tahun 1971. Kemudian Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA) pada tahun 1991. Barulah menjadi PT. Kereta Api Persero pada tahun 1999.
Saat  dikelola oleh PNKA, terdapat tiga buah kapal di bawah naungan PJKA, yaitu kapal Krakatau, Bukit Barisan dan Karimun. Menurut cerita orang tua, sekitar tahun 1970-an kapal Bukit Barisan terbakar dan tenggelam di sekitaran Selat Sunda.Â
Panjang rata-rata kapal saat itu kurang lebih 85 m dan lebar 12,5 m. Dengan bobot berat kapal 2300 ton dan daya angkut barang 200 ton. Setiap kapal yang berlayar memuat 700-750 penumpang.Â
Setiap harinya, hanya dua kapal yang dioperasikan. Satu kapal masuk ke dok untuk perawatan. Waktu tempuh berlayar antara Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Panjang saat itu memakan waktu kurang lebih 5 sampai 6 jam.