Mohon tunggu...
Muthakin Al Maraky
Muthakin Al Maraky Mohon Tunggu... Guru - Relawan di Komunitas Literasi Damar26 Cilegon

Tukang ngelamun yang mencintai buku

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ardian Je, Buku, dan Peradaban Buku

30 Maret 2022   04:47 Diperbarui: 30 Maret 2022   04:55 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ardian Je. Itulah nama yang tepampang di rubrik opini di salah satu koran lokal di Banten.  Namanya cukup masyhur di dunia literasi, khususnya di Banten. Esai-esainya sering mampir di koran lokal dan nasional. Bahkan, pernah suatu ketika saya membaca tulisan beliau di koran Pikiran Rakyat saat saya sedang menunggu teman mencuci motor di daerah Cipadung (Bandung). 

Saya mengenal beliau ketika bersama-sama menjadi pengajar di salah satu sekolah di Kota Cilegon. Beliau mengajar Bahasa Inggris, saya mengajar sejarah. Kita berdua sama-sama pecinta buku. Ketika membicarakan buku, mata kami berdua menyala-nyala. Terbakar. Kita berdua juga sama-sama suka tamiya, bayblade dan crushgear. 

Selain mengajar, di sekolah itu Ardian Je aktif menjadi mentor kelas menulis. Di tangan dinginnya, para siswa anggota kelas menulis berhasil  melahirkan beberapa karya buku antologi. Dari kumpulan puisi, sampai kumpulan cerita pendek.

Di tempat tinggalnya di Kp. Kubang Gede, Desa Mangkunegara, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Ardian Je bersama istrinya membangun sebuah rumah baca. Rumah baca itu diberi nama "Rumah Baca Bojonegara". Berbekal ilmu menjadi relawan di Rumah Dunia, ia terus menyalakan api literasi di sudut-sudut kampung.

Berbicara suka atau tidak suka terhadap buku. Mau atau tidak mau. Senang atau tidak senang. Minat atau tidak minat. Perkara  yang satu ini memang harus dipaksakan. 

Buku harus menjadi benda sakral. Buku harus menjadi  jimat, kompas, tongkat, roda, teman dalam kehidupan. Jika kalian tak memiliki (membaca) buku, bersiap-siaplah kalian akan tersesat sepanjang masa.

Meskipun kalimat di atas terdengar lebay, tapi begitulah kira-kira pesan yang saya tangkap dari buku kumpulan esai yang ditulis oleh teman saya yang satu ini. 

Terbukti, buah hasil dari kecintaannya terhadap buku dan keuletannya dalam membaca dan merangkai kata, beliau mampu melahirkan karya (esai, puisi, cerpen). Di tahun kemarin, kalau tidak salah beliau menerbitkan kumpulan cerpennya yang berjudul "Lelaki Tua Yang Menyapu Sambil Menangis". Dan tahun-tahun sebelumnya, beliau menerbitkan kumpulan puisinya.

"Buku adalah teman bagi orang-orang yang hebat" (halaman 13). Tokoh-tokoh bangsa seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Haji Agus Salim mereka semua hidup tak jauh dari buku. Para founding father bangsa ini menjadi cerdas karena keterampilannya dalam membaca buku. Karl Marx dan Stalin juga menjadi besar, tidak lain tidak bukan karena mereka rajin membaca buku. Bahkan, Karl Marx menghabiskan hari-harinya dengan membaca buku. (halaman 7).

"Buku adalah bagian dari kemajuan" (halaman 13). Pendapat Ardian Je ini bukan sekedar bualan. Kita lihat peradaban Islam di masa lalu. Peradaban Islam pada zaman Abbasiyah dikenal sebagai puncak kejayaan ilmu pengetahuan (golden age). 

Popularitas Bani Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833). Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun, penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani lebih digiatkan. 

Di zaman Abbasiyah terdapat perpustakaan yang begitu besar pengaruhnya, yaitu Baitul  Hikmah. Peranan Baitul hikmah tidak hanya sebagai perpustakaan saja, tempat ini juga berperan sebagai pusat penterjemahan, lembaga pendidikan, observatorium astronomi dan pusat kajian dan karangan.

Selain perpustakaan, gambaran mengenai peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu juga dilihat dari banyaknya toko buku. Menurut Phillip K. Hitti dalam History of Arabs, bahwa pada zaman Abbasiyah lebih dari seratus toko buku yang berderet di ruas jalan yang sama. Kemudian toko-toko buku ini juga berkembang di Damaskus dan juga Kairo. 

Para penjual buku itu banyak yang berprofesi sebagain penyalin, penulis kaligrafi dan juga ahli sastra. Jadi, fungsi toko buku tidak hanya sebagai tempat jualan, tetapi juga sebagai pusat kajian ilmiah.

Episode kejayaan Abbasiyah saya rasa cukup menjadi gambaran bagaimana buku dan perkembangan pengetahuan berperan dalam membangun sebuah peradaban. Buku, toko buku, dan perpustakaan adalah lentera bagi sebuah peradaban.

"Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah," itu kata Milan Kundera.

"Masih senangkah aparat-aparat kita merazia buku-buku?"

"Atau, jangan-jangan kehancuran peradaban memang yang  mereka harapkan?"

"Entahlah."

#bukanresensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun