"Siapa Kendil Kedalung itu, Mbah?" Galih bertanya dengan nada meremehkan.
"Kamu tak perlu tahu Kendil Kedalung itu siapa!" Mbah Karto Sujiwo menghardik Galih. Ia terlihat marah. "Yang Jelas, kamu harus mengikuti saran Mbah," sambungnya.
"Ba.. Ba.. Baik Mbah. Maafkan saya, Mbah." Mendengar hardikan Mbah Karto Sujiwo nyali galih langsung  menciut. "Apa saran Mbak untukku? Adakah cara untuk menyembuhkan atau menghilangkan santet dalam tubuhku ini? Dapatkah Mbah menahan Izrail mencabut nyawaku?"
"Mudah.. cukup mudah. Hahaha.. Hahaha.."
"Edan.. negosiasi macam apa ini. Tawar menawar nyawa. Menahan kematian. Menahan Izrail mencabut nyawa," kata Arman dalam hati. Di situasi ini, Arman hanya menjadi penonton. Arman tak ingin terlibat dalam obrolan mereka berdua. Arman membiarkan Galih menyelesaikan masalahnya sendiri dengan orang pintar itu.
"Dimulai hari ini, dalam tujuh hari ke depan, kamu harus selalu berada di  dalam rumah," Mbah Karto Sujiwo mulai memberikan saran.
"Baik, Mbah." Galih menunduk. Pandangannnya hanya tertuju pada lantai.
"Ingat! Lakukan ritual setiap lewat jam dua belas malam." Mbah Karto Sujiwo menyerahkan kantung kain berwarna merah. "Di dalamnya terdapat minyak wangi untuk proses ritual. Minyak wangi ini sudah Mbah isi dengan mantra-mantra."
"Baik, Mbah." Galih mengangkat wajahnya. Ia menerima kantung kain itu.
"Di malam ketujuh. Malam yang terakhir. Setelah melakukan ritual, kamu harus mandi dengan kembang tujuh rupa."
"Baik, Mbah." Ia kembali menunduk.