"Sudah mentok, Bu. Mungkin ini jalan satu-satunya." Galih terlihat putus asa. Dan menurutnya, hanya orang pintar itu jalan terakhirnya.
"Yah sudah, Ibu do'akan, semoga berhasil. Dan Nak Galih lekas sembuh."
"Terima kasih, Bu."
Saat Ibunya Arman kembali ke dapur, Galih menyodorkan kertas yang di dalamnya sudah tertulis sebuah alamat. Ia bertanya, apakah Arman mengetahui alamat itu? Jika mengetahuinya, Galih meminta Arman untuk mengantarkannya. Arman melihat sekilas alamat rumah itu. Arman bilang pada Galih, bahwa tempat itu cukup jauh. Dan jalan menuju rumah orang pintar itu hanya dapat ditempuh dengan sepeda motor.
Lelaki berambut ikal itu berpikir sejenak. Saat Galih sedang berfikir, menimbang-nimbang, Arman menyadari bahwa Galih tak kuat jika harus mengendarai sepeda motor. Ia tak tahan dengan angin di jalanan.
"Bagaimana, kamu siap?" Arman berharap berharap Galih menjawab tidak siap.
"Baik. Kita berangkat besok pagi. Dimanapun alamat orang pintar itu, kita harus ke sana menemuinya."
Kertas yang berisi alamat itu kembali dilipat seperti semula, lalu Galih masukan ke dalam dompet kulitnya yang lusuh. Dan jawaban Galih itu sangat mengejutkan Arman.
***
Aroma dupa perlahan memanjat ke lubang hidung. Disusul wewangian kembang tujuh rupa. Di atas tikar yang terbuat dari pelepah aren, duduk seorang lelaki paruh baya berperawakan besar memakai baju pangsi berwarna hitam. Di depannya terdapat anglo yang bersisi arang yang menyala. Keris, tombak, dan boneka santet membuat  ruang praktik Mbah Karto Sujiwo terasa semakin angker.
"Silahkan duduk!"