Mohon tunggu...
Mutaqin
Mutaqin Mohon Tunggu... Penulis - Guru dan seorang freelancer

seorang content writer untuk tema yang meliputi pendidikan, sosial, kebijakan publik, hukum serta yang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Peran Media Sosial Dalam Fenomena No Viral No Justice

15 Juli 2024   09:25 Diperbarui: 15 Juli 2024   09:34 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi media sosial (sumber : kompas)

Bagi kita semua yang hidup di era digital seperti sekarang ini hampir tidak mungkin kesehariannya lepas dari media sosial  hingga tidak terasa sehari tanpa membuka Facebook, WhatsApp atau Instagram seperti ada yang kuran, dari sekedar untuk mengikuti  tren dan isu  yang sedang berkembang hingga menjadikan media sosial sebagai tempat untuk mencurahkan keluh kesah bahkan tidak sedikit dijadikan sebagai tempat untuk mencari nafkah.

Namun harus kita akui pula bahwa  dengan adanya media sosial menjadikan suara publik yang sebelumnya tidak terhimpun dan berserakan kini mulai berani menggema serta bermunculan dengan kekuatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya  ketika ketidak adilan dan kesewenang-wenangan terjadi. 

Suara-suara yang beresonasi tersebut bersatu dalam kecepatan dan dengan volume yang padat  lalu menjadi corong dalam mengawal suatu permasalah khususnya di bidang hukum dan menjadi secercah cahaya untuk meninggikan keadilan dan penegakan hukum dalam negeri yang kualitasnya masih jauh dari ideal dewasa ini.

Kasus No Viral No Justice

Terdapat banyak kasus hukum yang penanganannyas segera dilakukan ketika sudah viral di media sosial, berikut 3 contoh kasus yang segera ditanagi oleh aparat penegak hukum setelah viral:

  •  Mahasiswa Bunuh Diri Karena Depresi


Harus diakui bahwa akhir-akhir ini, fenomena no viral no justice memang benar adanya dan semakin kuat terasa. Dari sekian kasus kita bisa menilik di antaranya kisah memilukan diakhir tahun 2021 tentang kasus bunuh diri seorang mahasiswi karena depresi. Mahasiswi bernama Novia Widyasari (23 tahun) ini mengalami depresi setelah dipaksa oleh pacarnya,Randy Bagus, yang merupakan seorang anggota polisi berpangkat Bripda  untuk melakukan aborsi sebanyak dua kali dari hasil hubungan di luar nikah keduanya.

Sontak saja, sejak kasus ini viral dan menghasilkan gelombang tekanan  bagi lembaga kepolisian, sang tersangka dengan secara cepat segera diproses hingga akhirnya sang pelaku selain dikenai sanksi kode etik dengan pencopotan tidak hormat dari kesatuan, juga harus menjalani proses hukum pidana pidana dengan ancaman pasal 348 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dengan ancaman lima tahun penjara dikutip dari Kompas.com (27/01/2022).

  • Kasus Pencuri Coklat di Alfamaret


Kemudian untuk sekedar mengingatkan kembali bagaimana kekuatan netizen dalam memfollow up sebuah kasus,  pada 2023 lalu sempat ramai dan  viral di media sosial yaitu rekaman video aksi pencurian coklat di Alfamart yang direkam oleh pegawai toko kelontong modern tersebut. Yang membuat publik geram oleh pelaku yang ternyata menggunakan mobil mercy tersebut adalah justru tidak terima atas tindakan perekaman oleh  pegawai Alfamart dan mengancam untuk memperkarakannya dengan  UU ITE karena merasa telah dipermalukan setelah rekaman video beredar luas dan menjadi viral.

Tidak cukup sampai di situ, bahkan pegawai Alfamart tersebut juga membuat video permintaan maaf kepada pelaku lalu memposting di media sosial setelah mendapat tekanan sebelumnya. Meskipun pada akhirnya permasalahan ini berakhir dengan damai setelah dilakukan mediasi. 

Terlepas dari upaya hukum oleh pihak Indomaret dengan menggandeng pengacara Kondang Hotman Faris, barangkkali yang tidak disadari oleh pihak pelaku adalah bahwa setelah video itu diviralkan oleh netizen dan memantik emosi publik karena mengusik rasa keadilan publik, maka sejatinya yang sedang dia lawan adalah masyarakat luas itu sendiri. 

Sehingga dalam konteks acara pidana, pihak kepolisian tidak perlu lagi menunggu masuknya laporan  untuk segera menindaknya secara hukum. Selain dua sampel di atas, tentu masih banyak lagi kasus-kasus yang diproses dengan cepat setelah menjadi viral, sehingga tidak mengherankan ketika Bang Hotman Faris sendiri dalam podcast di kanal YouTube milik Deddy Corbuzier (20/09/2022) mengatakan bahwa jika ingin cepat diproses maka suatu peristiwa harus diviral terlebih dulu.

  • Kasus Pegi Setiawan DIjadikan Tersangka Dalam Kasus Vina Cirebon


Kasus penangkapan Pegi Setiawan kemudian menjadikannya sebagai tersangka oleh Polda Jawa Barat dalam pusaran kasus kematian Vina Cirebon, merupakan salah satu contoh paling jelas bagaimana fenomena no viral no justice di negeri Konoha ini benar adanya.

Penangkapan dan penetapan Pegi Setiawan dalam kasus vina Cirebon dengan tuduhan sebagai otak dari kasus pembunuhan berencana dan pemerkosaan ini menjadi perhatian publik karena ditemukannya banyak kejanggalan dalam upaya pihak aparat penegak hukum untuk menjebloskan yang bersangkutan ke Penjara karena terkesan terlalu dipaksakan. 

Opini publik mengarah pada satu kesimpulan bahwa Pegi Setiawan tidak masuk akal jika menjadi ketua geng motor kemudian menjadi otak dari tragedi pembunuhan 8 tahun silam tersebut  karena hanya berprofesi sebagai kuli banguan dan berasal dari kelurga ekonomi kelas bawah. Dengan dukungan netizen Indonesia yang begitu derasnya di media social, kasus hukumnya dapat dikawal dengan baik dan pada akhirnya mememangkan praperadilan pada 8 Juli lalu.

Faktanya  di tanah Indonesia  asas equality before the law masih mengawang-awang di angkasa dan sebatas teori hukum dan ini sangat terwakilkan dengan frase  membumi  yang berbunyi “tumpul ke atas dan tajam ke bawah” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita nyatanya masih relevan hingga hari ini. 

Dan yang lebih ironisnya lagi, tidak salah jika kemudian untuk menggambarkan bagaimana eksistensi hukum di Indonesia hari ini ditambahkan dengan frase “tumpul ke atas dan membabi buta ke bawah” dalam artinya atas nama “hukum” mereka yang tidak bersalah tidak jarang harus menerima hukuman. 

Di hadapan kemegahan hukum dan segala prosedurnya, masyarakat kecil dipaksa harus tunduk dan pasrah meskipun hukum yang mereka hadapi bertentangan dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, mendengar prase diproses secara hukum saja masyarakat kecil sudah bergidik dan langsung terbayang proses berkelit dengan biaya yang tidak sedikit. Sebegitu horornya ketika orang kecil harus berhadap dengan hukum, terlebih ketika mereka harus dihadapkan dan berlawanan dengan kelompok yang memiliki power baik berbentuk kelas sosial maupun kelas ekonomi.

Peran penting masyarakat untuk ikut andil dalam penegakan hukum yang berkeadilan dan bersumber dari hati nurani masyarakat di tengah masih lemahnya lembaga yudikatif dalam menjalankan tugas dan fungsinya semakin terbuka lebar bahkan pada tingkatan pengawalan pemrosesan kasus hukum tanpa mereka harus turun ke jalan dengan melakukan aksi massa. 

Zaman telah berubah, berkat teknologi dengan media sosialnya pendapat publik dapat terbentuk secara masif, cepat  dan dapat dilihat dengan jelas tanpa susah payah, sebuah kasus hukum dengan kekuatan netizen dengan cara memviralkannya akan  direspon oleh pihak berwenang secara cepat dan yang terpenting menerapkan asas equality before the law, meski tidak jarang berakhir damai dengan dalih penyelesaian melalui instrumen restorative Justice

Dengan kecendrungan masyarakat kita yang seperti ini tentunya pihak kepolisian sepatutnya mengapresiasi karena bagaimana pun juga mereka telah membantu menemukan kasus hukum (pidana) yang akan meringankan kerja lembaga tersebut.

Sehingga fenomena netizen Indonesia yang reaktif terhadap suatu isu hukum di media sosial adalah bentuk ekspresi kekesalan terhadap bagaimana penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, yang jelas tertentunya sifat reaktif ini menjadi nilai plus  untuk pengawalan atas penegakan hukum itu sendiri yang relatif mudah dilakukan hanya dengan melihat layar gadget dan sedikit gerakan jari tangan untuk mengetik baik sekedar berkomentar maupun ikut menyebarkannya. 

Yang menarik untuk digaris bawahi bahwa, meskipun pengawasan oleh sipil melalui media sosial tersebut dilakukan secara daring namun jika telah terbentuk pandangan publik dan aparat penegak hukum tidak segera bertindak untuk memprosesnya bukan tidak mungkin akan melahirkan kondisi chaos, konsekuensi terburuknya adalah akan melahirkan aksi main hakim sendiri oleh masyarakat, barangkali inilah yang menjadi dasar pertimbangan jika sudah viral suatu perkara hukum cepat ditindak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun