Terlepas dari upaya hukum oleh pihak Indomaret dengan menggandeng pengacara Kondang Hotman Faris, barangkkali yang tidak disadari oleh pihak pelaku adalah bahwa setelah video itu diviralkan oleh netizen dan memantik emosi publik karena mengusik rasa keadilan publik, maka sejatinya yang sedang dia lawan adalah masyarakat luas itu sendiri.
Sehingga dalam konteks acara pidana, pihak kepolisian tidak perlu lagi menunggu masuknya laporan untuk segera menindaknya secara hukum. Selain dua sampel di atas, tentu masih banyak lagi kasus-kasus yang diproses dengan cepat setelah menjadi viral, sehingga tidak mengherankan ketika Bang Hotman Faris sendiri dalam podcast di kanal YouTube milik Deddy Corbuzier (20/09/2022) mengatakan bahwa jika ingin cepat diproses maka suatu peristiwa harus diviral terlebih dulu.
- Kasus Pegi Setiawan DIjadikan Tersangka Dalam Kasus Vina Cirebon
Kasus penangkapan Pegi Setiawan kemudian menjadikannya sebagai tersangka oleh Polda Jawa Barat dalam pusaran kasus kematian Vina Cirebon, merupakan salah satu contoh paling jelas bagaimana fenomena no viral no justice di negeri Konoha ini benar adanya.
Penangkapan dan penetapan Pegi Setiawan dalam kasus vina Cirebon dengan tuduhan sebagai otak dari kasus pembunuhan berencana dan pemerkosaan ini menjadi perhatian publik karena ditemukannya banyak kejanggalan dalam upaya pihak aparat penegak hukum untuk menjebloskan yang bersangkutan ke Penjara karena terkesan terlalu dipaksakan.
Opini publik mengarah pada satu kesimpulan bahwa Pegi Setiawan tidak masuk akal jika menjadi ketua geng motor kemudian menjadi otak dari tragedi pembunuhan 8 tahun silam tersebut karena hanya berprofesi sebagai kuli banguan dan berasal dari kelurga ekonomi kelas bawah. Dengan dukungan netizen Indonesia yang begitu derasnya di media social, kasus hukumnya dapat dikawal dengan baik dan pada akhirnya mememangkan praperadilan pada 8 Juli lalu.
Faktanya di tanah Indonesia asas equality before the law masih mengawang-awang di angkasa dan sebatas teori hukum dan ini sangat terwakilkan dengan frase membumi yang berbunyi “tumpul ke atas dan tajam ke bawah” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita nyatanya masih relevan hingga hari ini.
Dan yang lebih ironisnya lagi, tidak salah jika kemudian untuk menggambarkan bagaimana eksistensi hukum di Indonesia hari ini ditambahkan dengan frase “tumpul ke atas dan membabi buta ke bawah” dalam artinya atas nama “hukum” mereka yang tidak bersalah tidak jarang harus menerima hukuman.
Di hadapan kemegahan hukum dan segala prosedurnya, masyarakat kecil dipaksa harus tunduk dan pasrah meskipun hukum yang mereka hadapi bertentangan dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, mendengar prase diproses secara hukum saja masyarakat kecil sudah bergidik dan langsung terbayang proses berkelit dengan biaya yang tidak sedikit. Sebegitu horornya ketika orang kecil harus berhadap dengan hukum, terlebih ketika mereka harus dihadapkan dan berlawanan dengan kelompok yang memiliki power baik berbentuk kelas sosial maupun kelas ekonomi.
Peran penting masyarakat untuk ikut andil dalam penegakan hukum yang berkeadilan dan bersumber dari hati nurani masyarakat di tengah masih lemahnya lembaga yudikatif dalam menjalankan tugas dan fungsinya semakin terbuka lebar bahkan pada tingkatan pengawalan pemrosesan kasus hukum tanpa mereka harus turun ke jalan dengan melakukan aksi massa.
Zaman telah berubah, berkat teknologi dengan media sosialnya pendapat publik dapat terbentuk secara masif, cepat dan dapat dilihat dengan jelas tanpa susah payah, sebuah kasus hukum dengan kekuatan netizen dengan cara memviralkannya akan direspon oleh pihak berwenang secara cepat dan yang terpenting menerapkan asas equality before the law, meski tidak jarang berakhir damai dengan dalih penyelesaian melalui instrumen restorative Justice.