Dalam pasal 414 dan 415 Undang-Undang Nomor 7 Â Tahun 2017 Tentang Pemilu terkait rasio ambang batas perolehan suara partai politik untuk dapat duduk diperlemen disebutkan yakni sebesasar 4 persen dari total keseluruhan suara secara nasional.
Selain electoral threshod di kelembagaan legislatif, undang-undang ini juga mengatur electoral threshold di bidang ekesukutif yakni dalam pemilu presiden dan wakilnya atau yang lebih dikenal dengan istilah presidesial threshold yang tertuang dalam pasal 222 yang berbunyi; "Pasangan Calon diusungkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyartan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya".
.Penerapan presidensial threshold yang tidak lagi memberikan ruang yang luas bagi partai untuk berpartsipasi dengan calon yang diusung untuk menduduki kursi presiden dan wakilnya memancing pro kontra dan diskursus yang panjang. Upaya penekanan pertumbuhan partai politik dilakukan guna untuk menjaga stabilitas dan efektivitas pemerintahan yang berkuasa.Â
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Dr.Sunarso, M.SI dalam bukunya "Perbandingan Sistem Pemerintahan" (2012) bahwa bagaimana pun juga konsep pemerintahan presidensial tidak cocok dengan sistem multipartai karena akan mengundang instabilitas pemerintahan damfak dari terbentuknya koalisi-koalisi partai politik dengan segala kepentingannya masing-masing.
Namun terdapat kesan kontradiksi dalam penerapan electoral threshold  jika argumentasi yang dibangun untuk mengurangi jumlah partai politik demi stabilitas dan efektivitas dalam sistem pemerintahan presidensil, dengan anggapan bahwa presiden akan mendapatkan dukungan yang kuat dalam parlemenm jika jumlah partainya relatif sedikit.Â
kenyataan yang ada justru sistem pemilu yang demikian sangat berpotensi akan melahirkan perkongsian politik dalam bentuk koalisi-koalisi di dalam pencalonan Pilpres karena sangat sulit bagi partai politik untuk meraih 20 persen kursi di parlemen atau 25 Â persen dari keseluruhan suara nasionl, dan pada giliran selanjutnya akan membuat pemerintahan tidak dapat berjalan secara ideal disebabkan kuatnya tarik ulur kepentingan dari partai anggota koalisi yang mengusung presiden dan wakilnya.
Permasalah Indonesia yang menganut sistem presidensial dengan multipartainya di sisi lain mengharuskan langkah untuk mengurangi jumlahnya karena secara umum negara yang menggunakan sistem pemerintahan jenis ini memiliki model kepartaian dengan dwipartai seperti misalnya negara Amerika Serikat yang memiliki pengalaman panjang dalam demokrasi.Â
Namun langkah yang dilakukan untuk mengatasinya terlihat seperti bukan solusi bahkan secara tidak langsung cendrung menjadi sumber masalah yang menghambat sistem pemerintahan presidensial itu sendiri. Presidensial threshold  dalam permasalahan stabilitas serta efektivitas sistem presidensial lebih terlihat sebagai satu kesatuan dalam circle of trouble bukan sebagai pola hubungan solusi untuk sebuah permasalahan.
Di sisi lain, dilihat dari aspek hukum itu sendiri terlihat bahwa penerapan Presidensial Threshold menabrak ketentuan dalam UUD 1945 tentang hak warga negara dalam bidang politik sebagaimana yang tertuang pada pasal 6A. Dengan adanya ketentuan Presidensial Threshold ini mereduksi hak warga negara untuk mencalonkan diri dalam Pilres dengan dalih upaya penyederhaan partai demi stabilitas dan efektivitas sebuah roda pemerintahan.
Akan tetapi sebagai langkah untuk menyelesaikan permasalahan terkait stabilitas dan efektivitas pemerintahan yang bersumber banyaknya jumlah partai politik, menghasilkan rumusan formula untuk memperbaiki permasalanan yang sudah lama dibutuhkan proses panjang.Â
Sehingga  subtansi dari elektoral threshold dalam UU pemilu tidak tercapainya secara sigifikan tujuan penerapannya, sangat mungkin lebih banyak disebabkan dari unsur luar seperti aspek pengawasan misalnya dan bukan pada besaran rasio dalam PT tersebut. dengan demikian dibutuhkan lebih dari sekedar penerapan ambang batas untuk mengurangi jumlah partai secara bertahap.