Mohon tunggu...
Mutaqin
Mutaqin Mohon Tunggu... Penulis - Guru dan seorang freelancer

seorang content writer untuk tema yang meliputi pendidikan, sosial, kebijakan publik, hukum serta yang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika PPDB dengan Sistem Zonasi Bukan Menjadi Solusi

10 Juli 2024   09:05 Diperbarui: 10 Juli 2024   09:06 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segudang permasalah, merupakan ungkapan yang pantas dalam mendeskripsikan bagaimana kondisi pendidikan dalam negeri yang tiada habis-habisnya. 

Permasalahan di bidang pendidikan ini terjadi dari hulu hingga hilir, dari proses belajar belum dimulai di kelas-kelas melalui serangkaian proses pendaftaran yang berliku hingga proses ketika para peserta didiknya selesai menuntaskan pendidkan mereka kemudian dinyatakan lulus dalam bentuk acara seremonial perpisahan yang tidak murah.

Juga pro-kontra pelaksanaan study tour yang terbukti telah banyak memakan korban jiwa. Dalam hal proses pendaftaran peserta didik, kita masih belum selesai dan berpotensi akan menjadi bom waktu yang merugikan banyak pihak.

Memasuki masa pendaftaran siswa baru, di banyak sekolah menjadi tantangan tersendiri karena hal ini berkaitan langsung dengan nasib ke depan eksistensi dari sekolah itu sendiri jika hanya sedikit jumlah siswa yang mendaftar. Tidak jarang sekolah terpaksa harus berhenti beroperasi karena tidak terpenuhinya jumlah minimal siswa baru, kondisi ini pada gilirannya mendorong pihak sekolah untuk melakukan berbagai cara untuk mendapatkan siswa baru.

Misalnya dengan mengiming-imingi pemberian seragam dan peralatan sekolah secara gratis. Sistem PPDB dengan mekanisme zonasi nyatanya menyisakan celah dan permasalah baru alih-alih menjadi solusi bagi sebaran siswa yang proposional di sekolah-sekolah.

Tujuan Penerapan Zonasi

Illustrasi tujuan sistem zonasi (sumber:linggaupos)
Illustrasi tujuan sistem zonasi (sumber:linggaupos)

Penerapan sistem zonasi pada PPDB mulai diberlakukan sejak 2017 di mana sebelumnya pada 2016 diwacanaakan dan dicetuskan oleh Muhadjir Effendi yang saat itu menjabat sebagai Mendikbud. Dengan mekanisme ini diharapkan menjadi solusi dari carut marutnya  sebaran peserta didik yang tidak merata bercermin dari sistem serupa yang sukses diterapkan di negara-negara maju eropa.  

Dengan sistem yang telah dikaji secara mendalam dan melibatkan berbagai pihak ini awalnya dianggap mampu untuk mempersempit kesenjangan antar sekolah-sekolah elit di kota dengan sekolah-sekolah yang ada di daerah, namun sayangnya dalam penerapan selama 7 tahuh ke belakangan tidak menunjukan capaian yang cukup memuaskan dan jutsru menimbulkan permasalahan serta tantangan baru.

Ide dasar penerapan zonasi dalam PPDB adalah untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan pendidikan dalam hal pesebaran peserta didik di antara sekolah sehingga kesenjangan antar satu sekolah dengan sekolah yang lain dapat dipersemit, nyatanya cara dengan pengkondisian melalui proses pendaftaran bukan solusi yang menyentuh akar permasalahan itu sendiri meskipun hal yang serupa menunjukan hasil yang memuaskan penerapannya di negara-negara maju di eropa sana namun berbeda dalam konteks  di Indonesia. 

Belum Terpenuhinya Prasyarat

Kondisi kelas memprihatinkan di daerah 3T (sumber:jurnalkepri)
Kondisi kelas memprihatinkan di daerah 3T (sumber:jurnalkepri)

Ada hal-hal berupa pra-syarat agar kemudian sistem zonasi dapat efektif diterapkan di Indonesia dewasa ini yang sayangnya syarat-syarat minum ini nampaknya belum terlihat utamanya dari segi kondisi mentalitas masyarakat Indonesia dan masih kurangnya infrastruktur di bidang pendidikan.

Dalam hal mentalis, masyarakat kita belum sampai pada tingkatan yang cukup untuk bisa secara bijaksana menyikapi ketentuan dalam sistem zonasi dan hal ini dibuktikan dengan banyaknya praktik untuk mengakali sistem zonasi misalnya dengan memanipulasi dokumen kartu keluarga seperti yang terjadi di Pati Jawa Tengah pada saat PPDB di salah satu SMA favorit.

Hal ini dilakukan agar sang anak masuk ke sekolah idaman (dikutip dari Tribunjateng.com pada 2 Juli 2024). Para orang tua siswa belum siap jika anak-anaknya harus sekolah dengan prioritas dengan jarak yang paling dekat dengan tempat mereka tinggal dan mengsampingkan keinginan agar anak mereka bisa melanjutkan ke sekolah-sekolah favorit.

Persyaratan jarak antar sekolah dan tempat tinggal juga membuat orang tua memindahkan anaknya untuk sementara waktu di tempat yang tidak jauh dari sekolah yang mereka idamkan demi untuk bisa memenuhi ketentuan dalam zonasi dan tentunya praktik seperti ini tidak diharapkan ada dalam penerapan zonasi. Ada perbedaan jauh antar masyarakat kita dalam hal tertib dan kesadaran hukum yang membuat sistem zonasi tidak efektif  jika dibandingkan dengan negara-negara yang menjadi percontohan.

Kemudian dalam hal infrastruktur yang kurang memadai menjadi penghambat keberhasilan sistem zonasi khususnya di daerah-daerah. Infrastruktur fisik utama seperti fasilitas gedung dan ruang belajar yang layak nyatanya tidak dibangun secara merata dan menyeluruh  khususnya di daerah pedesaan dan terpencil di mana pada 2022 berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan jika terdapat 21.983 sekolah dengan bangunan fisik yang perlu untuk di perbaiki karena mengalami kerusakan. 

Di samping secara fisik, imfrastruktur non fisik berupa SDM tenaga pendidik juga masih jauh dari kata tertata dengan baik karena kebanyakan guru lebih tertarik untuk mengajar di daerah perkotaan atau sekolah-sekolah elit sehingga menyisakan sekolah yang dianggap kurang secara kualitas dengan tenaga pendidik sekedarnya.

kondisi ini terbalik dengan penerapan sistem zonasi yang diterapkan secara masif dan menyeluruh yang sejatinya menjadi akar permasalahan dari tidak proposionalnya persebaran peserta didik itu sendiri. Artinya sedari awal ada ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam sebaran insfrastruktur baik fisik maupun non fisik dalam bidang pendidikan dan secara otomatis berdampak pada sebaran peserta didik yang tidak merata. 

Tidak Menyentuh Akar Masalah Sebenarnya

Melihat kondisi ini dengan nada pesimistis tidak berlebihan kiranya kemudian jika kita beranggapan bahwa penerapan zonasi terlihat sebagai langkah yang bersifat tambal sulam dan bukan solusi jangka panjang karena yang hendak diatasi dari penerapannya hanya pada gejala yang terlihat dipermukaan bukan pada sumber yang mendasarinya.

Alih-alih fokus pada pembangunan infrastruktur sebagai sumber permasalahan, penerapan zonasi lebih tepat jika dinilai sebagai ketidaksiapan dan bentuk dari pelarian atas tanggung jawab. Negara-negara eropa yang sukses menerapkan zonasi tentunya telah memastikan terkebih dahulu aspek infrastrukturnya memadai serta mentalitas masyarakatnya sudah pada level yang cukup tinggi sehingga sistem ini tidak dijalankan secara serampangan sebagaimana di Indonesia yang justru menimbulkan permasalahan baru.

Persebaran peserta didik tidak akan pernah menjadi permasalahan besar jika sebelumnya ada pemerataan kualitas sekolah baik dari infrastruktur fisiknya maupun sumber daya manusia berupa tenaga pendidiknya yang kompeten di semua jenjang pendidikan. Karena bagaimana pun juga tidak ada seorang pun mau secara suka rela menerima sesuatu yang tidak berkualitas termasuk para orang tua siswa terlebih dalam hal pendidikan bagi anak-anak mereka yang sangat penting bagi pembentukan masa depannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun