Tapera merupakan salah satu contoh kebijakan dari pemerintah yang penerapannya bersifat probematik dengan menimbang masih besarnya kesenjangan antara pendapatan para pekerja swasta yang sudah UMR dengan kebutuhan sehari-hari yang terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu.Â
Dan hal ini tentunya akan sangat berdamfak bagi para pekerja yang berdomisili di daerah dengan UMR rendah seperti di Kabupaten Pangandaran dengan UMR sebesar Rp 2.018.389 Â atau kabupaten Banjarnegara yang hanya sebesar Rp 1.958.169. Sayangnya dalam kebijakan ini pemerintah mewajibkan semua pekerja dengan penghasilan UMR tanpa toleransi di mana setiap pekerja yang dianggap memenuhi ketentuan dan tidak membayarkan iuran Tapera akan mendapatkan sanksi baik yang berupa teguhan hingga pembekuan izin bagi para pelaku usaha.
Memang di banyak negara skema serupa Tapera berhasil diterapkan dan membantu banyak warganya untuk memiliki hunia rumah seperti misalnya negara tetangga Malaysia dan Singapura. Dalam konteks Indonesia dengan kondisi pendapatan perkapita masyarakatnya yang masih rendah tentu saja tidak bisa disamakan dengan dua negara tersebut yang memang secara kekuatan ekonomi masyarakatnya di atas masyarakat Indonesia.Â
Berdasarkam proyeksi IMF pada Oktober 2023 PDB per kapita Indonesia hanya di angka 5.108 US$ sedangkan Malaysia mencapai 13.034 US$ dan kalah jauh dari Singapura yang mencapai angka 87.884 US$. Artinya perlu ada capaian PDB per kapita minimum untuk sampai pada kesimpulan bahwa program Tapera sudah mampu diterapkan di Indonesia.
Â
 Berpotensi Menjadi Ladang Korupsi
Sebelum program ini digulirkan dengan sasaran peserta lebih luas yang bahkan di dalamnya termasuk profesi nonformal seperti tukang kurir serta driver ojek online, pelaksanaan Tapera sejak 2016 memiliki permasalahan dalam manajemen pengelolaannya yang kurang transparan. Berdasarkan temuan BPK pada tahun 2021, dalam audit program Tapera dan Instansi terkait untuk tahun 2020 dan 2021 Â terdapat 124.960 peserta Tapera yang belum mendapatkan haknya berupa pengembalian dana dengan total Rp 567.457.735.810 meliputi DKI Jakarta, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Daearah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.Â
Hal ini terjadi karena prosedur pencairan dana Tapera bagi para pekerja berpaku pada status keaktifan peserta yang pemutakhiran status tersebut diserahkan pada pihak pemberi kerja sehingga banyak peserta atapun ahli warisnya tidak tahu menahun di mana dan ke mana dana tabungam mereka.
Dengan mentalitas dan moralitas pejabat Indonesia yang memiliki catatan buruk dalam hal korupsi, terdapat alasan kuat bagi masyarakat jika kemudian mereka khawatir Tapera ini akan menjadi ladang baru yang akan dikorupsi. Jika dana bantuan kemanusian untuk mengatasi bencana pandemi covid 19 saja dikorupsi bukan tidak mungkin dana Tapera ini akan menjadi yang selanjutnya.Â
Kemudian berkaca juga pada kasus Asabri yaitu kasus korupsi dalam program dana pensiun bagi Polisi, Tentara serta ASN di kementerian Pertahanan  menjadi semakin menguatkan kesangsian terhadap program Tapera yang masih minim dalam manajemen dan pengawasan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Apa Yang Seharusnya Dilakukan
Jika kita melihat dengan seksama berbagai permasalahan di masyarakat yang kaitannya dengan urusan ekonomi seperti banyaknya masyarakat yangbelum memiliki rumah dewasa ini sejatinya hanya sebagai gejala dari suatu kondisi tertentu yang mendasarinya. Angka 9,9 juta masyakat Indonesia yang belum memiliki hunian rumah adalah fakta gejala yang ada, artinya selama hanya gejalanya yang diatasi maka ia akan kembali muncul di kemudian hari. Â