Mohon tunggu...
Muthiah Maizaroh
Muthiah Maizaroh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Berguru melalui tulisan, dan menjadi guru melalui tulisan. Menulis adalah upaya refleksi pengetahuan sekaligus mengekalkan pemikiran. Tertarik dengan issue-issue hukum dan ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Court of Justice Vs Court of Law: Menuju Pesta Demokrasi 2024 Bersesuaian dengn Hukum

16 Agustus 2023   22:22 Diperbarui: 16 Agustus 2023   22:30 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Disisi lain, lembaga yudisial MK sebagai penjaga konstitusi selaras dengan tujuan pengadilan kepastian sistem hukum atau court of law. Secara teori, kehadiran MK memang diidealkan untuk menjadi court of law.  Semangat lahirnya MK adalah menjaga harmonisasi hukum. Kewenangan memutus sengketa lembaga negara dan pembubaran partai politik merupakan upaya menjaga stabilitas demokrasi dan sistem hukum yang ada. Maka secara ekspresiss verbis beban kepastian pengadilan court of law menjadi lingkup kewenangan dari MK. Selain itu, bila ditelaah dari hukum acaranya, putusan MK bersifat final end banding. Hal ini menunjukan bahwa MK focal-concern nya ialah menjaga sistem hukum tanpa ada keraguan didalam putusannya.

Ironisnya, situasi konstitusional saat ini mencampur adukan ranah kewenangan yudisial. MA tidak hanya melakukan court of justice namun juga court of law dengan adanya kewenangan judicial review Padahal jika melihat fakta yang disajikan penulis diatas, kewenangan ini justru menimbulkan sengketa. Begitupula MK tidak hanya melakukan court of law namun juga court of justice dengan kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu. Padahal gugatan terhadap hasil pemilu adalah gugatan individual oleh subjek hukum yang dirugikan terhadap hasil pemilu. Sehingga termasuk upaya untuk mencari keadilan secara personal.

 Jika melihat jejak historisnya, kewenangan Judicial review sejak tahun 1993 pada praktinya pertama kali dilakukan oleh hakim MA (Simanjuntak: 2013, 334). Hal ini berangkat dari keresahan banyaknya produk hukum yang nyatanya bertentangan dengan undang-undang. Sehingga MA memutus pembatalan terhadap produk hukum tersebut. Hal ini tentulah tidak dapat diperdebatkan pada masa itu sebab MK belum menemukan eksistensinya. Namun, setelah MK di dirikan maka secara mutatis mutandis kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan haruslah secara murni menjadi kewenangan MK. Setidaknya ada beberapa alasan pencampuradukan kewenangan ini menjadi tidak ideal (Safi: 2016, 218):

1). Menimbulkan ketidakpastian hukum;

2). Hipotesis akan terjadi pertentangan substansi; dan

3). Menambah beban pengujian dan peradilan MA.

Selanjutnya, menyoal kewenangan memutus perselisihan pemilu dan pilkada sebelumnya merupakan kewenangan MA (Albab: 2018, 545).  Namun, pasca amandemen kewenangan ini dilimpahkan ke MK. Sengketa Pilkada menjadi kewenangan MK setelah UU No. 12 Tahun 2008 diundangkan. Ironisnya, jika ditinjau dari sudut pandang teoritis tidak ada urgensitas hasil pemilihan umum menjadi lingkup kewenangan MK. Menurut Mahfud MD mantan hakim MK, kewenangan tersebut sepantasnya menjadi kewenangan MA untuk mengadili. MA dalam putusannya dapat mengambil inisiatif sendiri untuk menegakkan keadilan (Albab: 2018, 546).   Dengan demikian semakin jelaslah bahwa implementasi hukum saat ini semakin jauh dari pangkalnya.

Pada dasarnya sengketa hasil pemilu adalah sengketa peserta pemilu dan penyelenggara pemilu. Status quo menunjukan sengketa pemilu akan diselesaikan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Pasal 73 ayat (4) huruf c UU Pemilu menegaskan bahwa memiliki wewenang menyelesaikan sengketa-sengketa pemilu (harun: 2016, 20). Kendati yang menjadi titik tekan dari pengujian hasil pemilihan umum di MK akan ditinjau dari pelaksanaan pemilu, namun hal demikian dapat terselesaikan dengan membentuk quasi peradilan dan lingkup pengadilan di MA.

Problematika kewenangan sengketa Pemilu yang melekat pada MK juga tersandung dengan adanya hak konstitusional dan legal standing yang menjadi syarat pengujian ke MK. Sebagai contoh, perkara perselisihan hasil Pemilu oleh anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dalam pemilu tersebut Partai Persatuan Daerah (PDD) dibatalkan sebagai peserta, dan tidak mendapat rasa keadilan di MA (Fahmi: 2011, 101). PPD mengajukan permohonan ke MK. MK kemudian menolaknya dengan alasan tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa. Bawaslu juga menolak gugatan PDD sehingga tidak ada lagi tempat mencari keadilan.

Sampai disini terlihat bahwa sengketa hasil Pemilu tidak memiliki urgensi berada di MK, namun harusnya berada di Bawaslu dan MA. Perselisihan dibidang administrasi akan terselesaikan dengan kamar PTUN. Pihak yang berperkara pun dapat mengajukan kasasi ke MA apabila nilai keadilan belum terpenuhi. Dengan demikian penyelesaian sengketa hasil pemilu menjadi lebih menyeluruh.

Semangat demokrasi menuju semarak Pemilu 2024 yang selaras degan hukum. Ketidak jelasan ini harus segera dihapuskan dengan memurnikan kembali kewenangan kembaga peradilan. Dengan demikian terdapat  landasan argumentasi untuk mengusung konsep pemurnian kembali kewenangan ini, antara lain:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun