Kekuasaan kehakiman adalah puncak dari keadilan dan kepastian hukum. Â Di Indonesia berujung pada lembaga tinggi negara yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Dasar kewenangan kedua lembaga suprastruktur jelas termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republi Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Â
Adanya pemisahan kewenanangan lembaga peradilan berdampak positif pada sistem peradilan akan berjalan secara efektif dan efisien sebab terdapat pembagian kekuasaan diantara keduanya.Â
Namun, kadang kala ada pula dampak negatifnya, yaitu tumpang tindih kewenangan menjadi jika tidak ada pemisahan kewenangan yang jelas. Untuk itu diperlukan batas demarkasi untuk menghalau potensi tumpang tindih kewenangan dan persinggungan kewenangan antar lembaga yudisial.
Pada tataran konseptual, kewenangan lembaga yudisial dapat diklasifikasikan menjadi dua unsur, yaitu mahkamah sistem hukum (court of law) dan mahkamah pencari keadilan (court of justice). Berkenaan dengan hal ini, MK merupakan lembaga yang berwenang mengadili sistem hukum (court of law) dan MA adalah lembaga untuk mencari keadilan personal (court of justice).Â
Pemikiran tersebut bermula dari reformasi  konstitusi yang menginginkan pemisahan kekuasaan dengan chek and balances. Reformasi konstitusi yang membawa pembentukan lembaga negara independen untuk menjaga konstitusi yakni MK. Dengan demikian terang bahwa pada prinsipnya pembagian kewenangan pengadilan merupakan buah dari semangat reformasi sistem peradilan di Indonesia
Hasil dari court of justice adalah putusan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan bagi yang berperkara. Sifat putusannya pun mengikat hanya bagi yang berperkara. Klasifikasi court of justice misalnya adalah penanganan kasus-kasus kriminal, sengketa keperdataan, dan sengketa tata usaha negara.Â
Sedangkan court of law mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan sistem hukum. Pengelompokan perkara court of law misalnya pengujian peraturan perundang-undangan, sengketa antar lembaga negara dan partai politik. Lembaga negara bagi sistem hukum Indonesia adalah bagian dari suprastruktur politik, sedangkan partai politik adalah bagian dari infrastuktur poltik sehingga wajar jika menjadi bagian dari court of law.
Menilik kondisi ketatanegaraan Indonesia saat ini, pemisahan kewenangan pengadilan tidak sepenuhnya terealisasi. Ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI 1945 memberikan kewenangan MA untuk melakukan judicial review peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Begitu pula MK menurut ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 salah satu kewenangannya adalah memutus perselisihan hasil dari pemilu dan pilkada yang merupakan sengketa perorangan (Albab: 2018, 542). Â Â
Kewenangan judicial review di MA pada praktiknya justru mengakibatkan konflik horizontal. Kontradiksi antara putusan MA dan MK tidak jarang terjadi. Misalnya antara Putusan MA No. 13/P/HUM/2009 jo No. 16P/PHUM/2019 dengan Putusan MK No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009 (Emerald Magama : 2021, 168). Objek sengketa dalam putusan MA tersebut adalah Peraturan KPU No. 15/2009 yang di ujikan kepada Undang-Undang No.10 Tahun 2008. Putusan MA menyatakan Peraturan KPU bertentangan dengan undang-undang dan karenanya tidak lagi sah (Sulaiman: 2017, 268).
Pihak-pihak yang merasa dirugikan terhadap putusan tersebut, mengajukan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 ke MK. MK menyatakan pasal-pasal batu uji MA dalam undang undang tersebut konstitusional bersyarat (Sulaiman: 2017, 271). Problematika ini menunjukan seolah-olah putusan MK telah menggugurkan putusan MA. Berdasarkan kasus konkrit tersebut terlihat bahwa potensi konflik antara Putusan MA dan MK dalam Judicial Revew sistem dua atap sangatlah besar.
Semangat Amandemen UUD NRI 1945 harusnya membawa arah baru bagi perkembangan lembaga yudisial di Indonesia. Lingkup kewenangan MA adalah mengadili pelanggaran person to person atau antar subjek hukum untuk mendapatkan keadilan. Hal ini selaras dengan kewenangan badan peradilan di bawah MA yang juga mengadili perkara-perkara antar subjek hukum yang memiliki kerugian secara kolektif maupun individu seperti sengketa keperdataan, pidana, dan sengketa ketatausahaan. Stigma ini terbangun dengan melihat prosedur pengujian MA yang mengenal banding. Sebab putusannya dapat dilakukan pengujian atau upaya hukum lebih lanjut, agar  tercapainya keadilan yang setinggi-tingginya (Helmi: 2019, 97).