Sebelumnya: Â Cinunuk (1)
Daud memang selalu begitu. Tiap kali kami dihadapkan pada kemunculan hal-hal yang janggal atau menyeramkan saat naik gunung, otaknya bisa sangat gesit menangkap bahan candaan yang kemudian segera ia lemparkan kepadaku.
Dan strateginya ini menurutku cukup efektif dalam menghalau rasa takut yang berusaha merasuk ke dalam pikiran. Aku yang tadi sempat merinding oleh suara yang serupa cekikik kakek malah sekarang merasa dibikin geli dengan candaan burung kakek tua-nya.
Toh, selepas kami tertawa, suara aneh tadi langsung lenyap tak terdengar lagi. Kini suara rimba kembali bening seperti sediakala.
"Gue heran dah, dengan keahlian lu  bikin jokes yang segar tak terduga, harusnya dulu lu bisa jadi juara satu" Kataku sembari menggaruk leher yang mendadak gatal. "Kok bisa-bisanya lu close-mic di posisi enam?".
"Udah. Jan bahas itu." Katanya datar.
"Kenapa?"
Daud tidak menjawab. Kemudian ia beranjak menuju dekat semak-semak. Ia Jongkok. Menundukkan kepalanya. Tangannya mengorek-korek tanah yang di atasnya berserakan puntung rokok yang tempo hari ia buang. Barangkali masih ada sisa tembakau di antara serakan puntung-puntung rokok itu. Â
"Enggak kenapa-kenapa. Pas itu performa gue enggak maksimal ketimbang komika lainnya. Wajar aja kalau gue yang dipulangkan." Jawabnya yang masih sibuk mengorek dan meraba-raba tanah di sana.
"Enggak, ah! Perform terakhir lu tuh dulu pecah banget. Gua masih inget waktu itu satu studio penuh dengan gemuruh tawa penonton pas lu bawain materi jadi petani yang ngeluh pupuk mahal, cari kuli susah, harga jual rendah, bayar utang susah dan makin pecah waktu lu akhiri perform lu dengan materi yang nyentil sikap keplinplanan kebijakan pemerintah."
Sejenak aku menarik nafas, "Semua juri juga bilang lu kompor meleduk waktu itu.Â