Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sri Hamil

14 Februari 2021   19:13 Diperbarui: 14 Februari 2021   19:26 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari kaskus.com/larazzchan21

Aih, nomor siapa ini? Untuk urusan apa sepagi ini sudah menghubungiku. Tak bisakah aku memperoleh tidur yang nyaman setelah semalaman berjibaku melawan kenangan?

Lagian, ini hari minggu! Hari di mana aku seharusnya bebas melanjutkan tidurku. Bahkan ibuku pun tak pernah selancang ini berani membangunkan tidur hari mingguku.

Sungguh dering panggilan telepon genggam ini sangat menggangguku. Melengking, seperti tangisan menyebalkan seekor bayi kucing hitam yang pernah aku buang.

Malam itu, dua hari lalu, hujan deras tinggal sisa. Bayi kucing hitam itu tiba-tiba muncul, mengeong dari balik pintu. Kudapati tubuhnya kecil buluk dan basah, ia menggigil, menangis, seperti pengemis mengharapkan secuil iba dari hatiku.

"Jadi kau ditelantarkan ibumu? Ibumu meninggalkanmu yang masih kecil, saat hujan begini? Lalu kau ke sini memintaku untuk merawatmu. Begitu?"

"Meowng!!!"

"Cih. Ibumu saja tak mempedulikanmu, bagaimana bisa aku peduli kepadamu? Pergilah!"

Bayi kucing tak mau pergi. Setelah beberapa saat aku abaikan menggigil di depan pintu, tangisannya semakin melengking. Pusing mendengar tangisnya aku cengkeram lehernya. Kubawa bayi kucing itu menyusuri becek dan sepi jalan menuju perempatan gang.

Ketika kulemparkan tubuh buluknya di bawah tiang listrik, di tengah gerimis rintik-rintik. Bayi kucing itu berhenti menangis. Wajahnya berubah. Tubuhnya siaga. Ia tak lagi mengiba. Ia mengeram. Matanya menyala, seperti ingin membakar wajahku. Pun, gigi taringnya yang belum tajam itu seperti berhasrat segera menusuk leherku.

"grrrr!!!"

"Cih! Kau marah kepadaku? Seharusnya akulah yang marah".

"Kau sudah menggangguku dengan tangismu maka aku buang kau di sini".

"Grrr.."

"Kejam kau bilang? Ya. Aku memang kejam, tapi tak sekejam ibumu. Kau harus paham, aku manusia, tak punya kewajiban merawat seekor kucing sepertimu. Jika ingin marah, Marahlah kepada ibumu! Ke mana ibumu? Ah, aku yakin pasti ia pergi karena tak sudi merawatmu yang buluk begitu".

"grrrr!!!!"

"Menyebalkan sekali kau ini! Rasanya percuma panjang lebar berbicara. Kau tak akan pernah paham penjelasanku. Sekali lagi, berhenti marah kepadaku! Arahkan amarahmu itu untuk ibu bapakmu saja!".

**

Hampir saja aku membanting telepon genggam yang terus berdering ini. Namun seketika itu aku tersadar, membanting telepon genggam merupakan tindakan yang konyol. Lalu aku bangkit dari rebahan. Ranjangku berderit. Dengan penuh rasa geram kuterima panggilan itu.

"Hallo! Siapa ini? Beraninya kau menggangguku pagi begini! Ada urusan apa? Pastikan panggilanmu ini untuk hal yang penting! Kalau tidak, akan kugigit lehermu!" Lega rasanya memuntahkan kekesalan ini.

"Sejak kapan kamu pandai menyalak macam anjing, Mas?" Suara wanita menyahut, lembut kecil agak serak. Ya, tidak salah lagi ini suara Sri.

"Oh, rupanya kau! Aku begini sejak kau menghianatiku. Bagiku menyalak seperti anjing lebih terhormat daripada terus mengeong mengemis cinta dari Kucing Jalang sepertimu."

"Kucing jalang? Apa aku tidak salah dengar? Dulu kamu juluki aku Kucing bintang, Mas".

"Dulu kau memang kucing bintang, tapi untuk sekarang rasanya kucing jalang lebih pantas untuk kau sandang!"

"Suara kasar yang keluar dari mulutmu itu membuatmu makin mirip anjing, Mas".

"Suara cempreng yang keluar dari cangkemmu itu masih mirip kucing jalang, Sri!"

Begitulah percakapan telepon itu diawali dengan baku hantam. Aku dan Sri bagai anjing dan kucing yang beradu cangkem dengan suasana pagi yang baru mulai menderu.

Sebenarnya, aku sama sekali tak keberatan ketika Sri menyebut nada tinggi yang aku muntahkan tadi menyerupai anjing yang menyalak. Kenyataan bahwa Sri telah diam-diam menikah dengan pria lain tiga bulan lalu itu sangat menyakitkan untukku.

Semenjak itu aku memutuskan untuk membenci semua kenangan yang mengingatkan aku kepada Sri. Termasuk Kucing. Sri sangat suka kucing.

Segala apa yang melekat pada dirinya selalu ada pernak-pernik tentang kucing: bando, tas, sepatu, parfum, baju, rok dan kemungkinan besar celana dalamnya pun bergambar kucing.

Tak cuma itu. Sri bahkan memiliki tingkah laku serupa dengan kucing. Bagaimana ia bersuara, tertawa, bermanja, dan kejahilannya, semuanya mirip dengan kucing, imut.

Oleh karena kelekatannya dengan kucing, aku pernah menjulukinya si Kucing Bintang, kucing yang selalu bisa bersinar untuk menghiasi kegelapan hatiku. Namun sejak pengkhianatan itu, aku memilih untuk membenci kucing dan berpaling kepada anjing, yang ternyata tak kalah imut, juga setia.

Dan di saat aku sedang berjuang melawan kenangan indah bersamanya, berjuang melupakan semua tentang dirinya, seenaknya saja dia menghubungiku lagi pagi ini. Jelas membuat aku semakin benci dan tak kuat untuk memuntahkan kekesalan yang tersimpan di dada.

"Ada perlu apa kau menggangguku lagi? Belum puaskah kau menyakiti hatiku, Sri?"

"Selama kamu belum move on dariku, aku akan selalu menyakiti hatimu mas. Dan keperluanku menghubungimu sekarang ini tak lain adalah untuk menyakitimu lagi, Mas. Hihi"

"Cangkemmu menyebalkan sekali, Sri".

"Aku tahu itu, Mas. Haha".

"Asu".

" Hus! Aku kan kucing, Mas. Meoong".

"...."

"Mas, Aku sudah bahagia dengan suamiku. Sekarang aku sedang hamil. Sebentar lagi punya anak. Jadi, berhenti mencintaiku, berhenti mengharapkan aku kembali karena aku tak kan pernah kembali. Aku senang mendapati dirimu akhirnya bisa membenciku. Langkahmu untuk terus membenciku itu sudah bagus, Mas".

"Setelah ini aku takkan mengusikmu lagi. Mulai sekarang lupakan segala kenangan tentang aku dan tidurlah yang cukup. Carilah kekasih pengganti yang tak menyebalkan sepertiku. Hiduplah yang normal, Mas".

Tuuuuttt....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun