"Cih! Kau marah kepadaku? Seharusnya akulah yang marah".
"Kau sudah menggangguku dengan tangismu maka aku buang kau di sini".
"Grrr.."
"Kejam kau bilang? Ya. Aku memang kejam, tapi tak sekejam ibumu. Kau harus paham, aku manusia, tak punya kewajiban merawat seekor kucing sepertimu. Jika ingin marah, Marahlah kepada ibumu! Ke mana ibumu? Ah, aku yakin pasti ia pergi karena tak sudi merawatmu yang buluk begitu".
"grrrr!!!!"
"Menyebalkan sekali kau ini! Rasanya percuma panjang lebar berbicara. Kau tak akan pernah paham penjelasanku. Sekali lagi, berhenti marah kepadaku! Arahkan amarahmu itu untuk ibu bapakmu saja!".
**
Hampir saja aku membanting telepon genggam yang terus berdering ini. Namun seketika itu aku tersadar, membanting telepon genggam merupakan tindakan yang konyol. Lalu aku bangkit dari rebahan. Ranjangku berderit. Dengan penuh rasa geram kuterima panggilan itu.
"Hallo! Siapa ini? Beraninya kau menggangguku pagi begini! Ada urusan apa? Pastikan panggilanmu ini untuk hal yang penting! Kalau tidak, akan kugigit lehermu!" Lega rasanya memuntahkan kekesalan ini.
"Sejak kapan kamu pandai menyalak macam anjing, Mas?" Suara wanita menyahut, lembut kecil agak serak. Ya, tidak salah lagi ini suara Sri.
"Oh, rupanya kau! Aku begini sejak kau menghianatiku. Bagiku menyalak seperti anjing lebih terhormat daripada terus mengeong mengemis cinta dari Kucing Jalang sepertimu."