Lalu saya mengajak kedua temanku untuk naik ke bukit dimana huruf GUCI mirip tulisan Hollywood itu terpampang. Kami mendaki bukit itu, melewati gubuk-gubuk kedai makanan yang rada kumuh, beberapa kali kami menemukan timbunan sampah makanan berserakan di sudut-sudut jalan setapak di bukit itu.
Sampai di puncak bukit kami agak kecewa ketika pemandangan yang telihat tak sesuai ekspetasi, hijau bukit sperti ternodai oleh banyak atap-atap villa atau bangunan lain berkerumun. Terlihat kurang sedap dipandang. Tapi pemandangan ini terobati oleh keindahan gunung slamet yang terlihat biru, anggun menjulang tinggi.
Di bukit ini juga ternyata sudah dibangun wahana baru. Wahana warna-warni untuk berselfie ria. Mungkin wahana-wahana ini sangat menarik bagi yang suka selfie, atau pasangan muda-mudi.
Tapi bagi kami, tiga lelaki jomlo yang sudah hampir kehilangan gairah alay dan narsisisme, wahana ini terasa biasa saja. Wkw
Kepalang tanggung sudah capek naik bukit, kamipun mencoba masuk ke salah satu wahana itu. Ternyata, kami dipatok harga sepuluh ribu untuk satu spot selfie saja. Alhasil kamipun harus benar-benar memilih satu wahana spot selfie. Masnuh memilih spot sepeda melayang, sedangkan saya dan Fery memilih wahana lantai kaca.
Namun tidak bisa mandi di Guci itu bagi saya sangat mengecewakan kedua teman saya. Bagaimana bisa saya ajak mereka ke Guci tapi mereka tidak merasakan kenikmatan berendam air panas Gunung Slamet? Enggak asyik banget.
Akhirnya, saya tanya ke seorang pemilik kedai makanan. "Bu, Pemandian air panas yang buka di mana ya? Kok tutup semua".
"Iya mas. Pemandian air panas tutup sejak ada corona masuk. Sebenarnya ada yang buka, Mas. Mas-mas ini bisa mandi di hotel-hotel itu, tapi syaratnya harus menginap dulu di sana"
"Haduh, repot amat, Bu. Mahal juga pastinya. Kami orang kere bu. Haha"
"Di sana buka, Mas! (Sambil menunjuk sebuah bangunan di bawah bukit)"
"Tapi untuk keamanan dari corona, di sana harus mandi sendiri satu orang satu kolam. Tidak bisa bersama-sama. Dan setelah mandi, kolam bakal dikuras, Mas"
Mendengar jawaban Ibu pemilik kedai itu sontak kami tersenyum bahagia. Ternyata kami masih bisa mandi air panas meski harus mandi dengan menerapkan protokol seperti itu.
Kamipun bergegas turun bukit menuju bangunan yang ditunjuk si Ibu. Sampai dibangunan itu, beruntunglah kami menemukan pemandian itu sangat sepi sehingga banyak kamar mandi air panas yang kosong.