Sampai pada malam ketujuh pasca penemuan mayat Mbah Darsih, belum ada satupun petunjuk yang dapat mengungkap siapa pembunuh wanita renta itu.
Cerita ini lanjutan dari Penunggu Sumur Tua
Mbah Darsih tidak punya keluarga sama sekali. Kata Emak, mbah Darsih dulu punya suami dan seorang anak lelaki seumuran saya. Ketika Suami dan Anak Mbah Darsih sedang mencari kayu bakar, gunung yang biasanya slamet mendadak meletus memuntahkan lahar dan awan panas.
Suami dan Anak Mbah Darsih tak dapat menyelamatkan diri. Keduanya ditemukan dalam reruntuhan sebuah gubuk dengan keadaan telungkup terkubur oleh abu vulkanik yang menenggelamkan hampir seluruh isi hutan.
Belakangan baru aku tahu di dekat sumur tua itulah Suami dan Anak Mbah Darsih dimakamkan. Pantas saja Mbah Darsih betah main di sumur walau malam hari. Rupanya begitu cara mbah Darsih mengungkapkan rindu kepada suami dan anak lelakinya.
Meskipun tidak punya keluarga, acara kenduri atas kematian Mbah Darsih tetap dilaksanakan. Adapun untuk kebutuhan kenduri seperti makanan dan sebagainya, warga desa bergantian menyediakannya dengan sukarela.
Hingga pada malam ke tujuh usai pemakaman, bapak-bapak dan pemuda masih ramai datang ke rumah mendiang mbah Darsih.
Bentuk rumah Mbah Darsih seperti umumnya rumah jaman dahulu. Jendela dan ventilasi kayu, dipan bambu di depan rumah, lantai tanah, dan tembok yang mengelupas. Jika menatap langit-langit, terlihat rangka atap glugu sudah menghitam ditempeli sawang di tiap-tiap sudutnya.
Rumah mbah Darsih terletak tak jauh dari pos ronda. Untuk menuju ke sana, aku lebih suka menggunakan jalan setapak dari belakang pos ronda lalu melewati pekarangan penuh semak-semak, pohon bambu dan pohon-pohon randu.
Ujungnya nanti akan ketemu pada bagian belakang rumah mbah Darsih, tempat di mana sumur tua itu berada.