“Ng..nganu, Mbah. Terose sinten nggih ingkang sampun damel panjengan seda?” Aku memberanikan diri untuk mengeluarkan pertanyaan itu, meski masih terbata-bata dengan gigi yang menggigil gemeretak.
Setelah kusampaikan pertanyaan itu, sosok Mbah Darsih tersenyum. Lengkung bibir kisutnya persis sama ketika dulu aku bertemu saat masih hidup. “hm.. Kau tunggu hingga sore hari nanti. Kamu akan mengetahui siapa pelakunya, Cah bagus”.
“Cah bagus, Jaga awakmu lan keluargamu apik-apik. Sampaikan salam Mbah Darsih ke Emak, Bapak lan Adhekmu, nggih.”
Tanpa penjelasan lebih lanjut sosok mbah Darsih itu memudar seiring angin yang mendadak berderu kencang. Dia pergi menghilang meninggalkan aku yang tertegun, tak mengerti apa maksud ucapannya tadi.
Ditengah lamunanku, sosok wanita menyebalkan yang nangkring di pohon randu itu muncul lagi.
Sosok itu turun dari pohon randu. Terbang melayang-layang diatas kepalaku sambil cekikikan memekakan kedua telingaku. Kelakuannya itu membuat mulutku tak tertahan untuk berkata “wedhus gembel!”
***
Bersambung ke: Penunggu Sumur Tua (Tamat)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H