Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bela-belain Ngutang Demi Bisa Kondangan

19 Agustus 2020   06:59 Diperbarui: 19 Agustus 2020   06:57 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berkat kondangan | dok. Adi Akbar Setiawan

New Normal. Setelah Pemerintah memperbolehkan lagi kegiatan hajatan, belakangan banyak sekali orang yang kawin. Deras, bagai air bertekanan tinggi dari kran yang baru dibuka.

Di desa saya, dalam dua bulan ini adalah musim kawin. Hampir tidak ada hari tanpa acara perkawinan. Baru saja perkawinan anak Pak Rudy kelar setelah tiga hari diadakan, langsung disambung oleh Pak Deddy yang mengadakan resepsi perkawinan anaknya selama tiga hari pula.

Begitu seterusnya, kemungkinan masih banyak lagi Bapak-bapak yang akan mengawinkan anak mereka beberapa bulan ke depan.

Tentu saja, acara perkawinan adalah momen yang berbahagia. Tergambar dengan jelas dalam lagu qasidah Penganten Baru dari Nasida ria. Pengantin, keluarga, saudara, tetangga, semua merasakan kebahagiaan dalam acara perkawinan.

Namun dibalik kebahagiaan itu, ada duka yang disembunyikan, yaitu duka karena harus menjalani tradisi kondangan yang membuat banyak orang di tempat saya tinggal kelimpungan. 

Di sini, aturan tak tertulis saat kondangan adalah seseorang yang hadir memberikan minimal beras lima kilo, atau uang dengan nominal yang setara dengan itu sebagai wujud sumbangan/bantuan kepada shohibul bait acara perkawinan.

Sumbangan ini sebenarnya bersifat sukarela, tapi terhalang dengan perasaan "masa iya, kondangan gak bawa apa-apa". Dari perasaan itulah yang akhirnya menjadikan sumbangan ini wajib diberikan.

Bagi orang berduit banyak, mungkin tidak ada masalah ketika memberikan sumbangan itu saat kondangan. Tetapi, bagi orang dengan duit pas-pasan, tradisi ini terasa memberatkan.

Selama periode musim kawin ini bergulir, saya hitung sudah ada tujuh teman dan dua tetangga saya yang curhat mengeluhkan hal ini kepada saya. Keluhan mereka hampir sama, "Duh! Undangan kawinan banyak banget. Duitku habis cuma buat kondangan".

Setiap saya mendengar keluhan itu, saya kasih solusi daripada pusing, mending tidak usah datang kondangan saja. Dan jawaban mereka bisa ditebak, "Edan kowen, Dul! Udah dapat undangan kok gak datang. Ya gak kepenak lah! Bisa memutus silaturahmi". 

Setelah dipikir lagi, solusi dari saya memang edan. Tradisi memberikan sumbangan saat kondangan mungkin tidak bisa dihilangkan. Konon, tradisi ini adalah bentuk perwujudan dari sifat gotongroyong masyarakat kita. Bahu membahu saling membantu.

Beras dan uang yang terkumpul bisa digunakan oleh shohibul hajat untuk membayar biaya acara perkawinan. Katanya, untuk menyewa dekorasi saja bisa sampai puluhan juta. 

Sedangkan beras atau uang yang dikeluarkan oleh kondangers adalah tabungan yang ketika nanti mengadakan acara, giliran dia yang mendapat sumbangan. Simbiosis mutualisme. 

Wow! Seandainya teman dan tetangga saya bisa konsisten berpikir positif seperti ini setiap saat, mungkin tidak ada lagi yang namanya curhatan mengeluh karena banyak kondangan.

Tapi jujur, kalau undangan kondangan datang bertubi-tubi apalagi pada hari yang sama, hal ini cukup membuat saya pusing kepala. Mau datang, gak punya duit. Enggak datang takut dibilang pelit. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh teman dan tetangga yang curhat ke saya.

Ketika belum kondangan, bunyi lantang Sound system hajatan terasa bukan seperti hiburan melainkan bunyi dari debt collector yang sedang mendobrak pintu rumah untuk menagih hutang.

Tadi pagi, seorang Ibu-ibu tetangga saya, menanyakan apakah saya punya uang tabungan yang lebih untuk dipinjam. Ibu itu bilang, dia mau pinjam uang untuk kondangan di beberapa tetangga dan kerabat dekat karena sudah tidak ada lagi uang cadangan selain untuk makan. Dia berjanji akan mengembalikan ke saya di akhir bulan nanti.

Mendengar alasan itu, saya merasa sedih, tapi ingin tertawa. Saya tak habis pikir, kok bisa, demi kondangan membantu saudaranya, beliau rela bersusah payah sampai harus berhutang. 

Seandainya saya yang jadi Ibu itu, saya bakal tetap kondangan meski tak punya uang. Saya ganti uang sumbangan itu dengan doa atau tenaga saja. Meski harus menahan malu sama stigma omongan orang, yang penting kan sudah datang bantu. Saya rasa sang shohibul hajat juga tak akan mempermasalahkan.

Tapi, daripada ribet. Kebetulan ada uang lebih dari hasil nguli, saya pinjami saja kepadanya. Ibu itu terlihat bahagia. Saya jadi ikut bahagia. 

Kamu juga, jangan lupa bahagia ya.

Udah. Gitu aja, kok. Saya mau lanjut makan berkat dari hasil kondangan

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun