New Normal. Setelah Pemerintah memperbolehkan lagi kegiatan hajatan, belakangan banyak sekali orang yang kawin. Deras, bagai air bertekanan tinggi dari kran yang baru dibuka.
Di desa saya, dalam dua bulan ini adalah musim kawin. Hampir tidak ada hari tanpa acara perkawinan. Baru saja perkawinan anak Pak Rudy kelar setelah tiga hari diadakan, langsung disambung oleh Pak Deddy yang mengadakan resepsi perkawinan anaknya selama tiga hari pula.
Begitu seterusnya, kemungkinan masih banyak lagi Bapak-bapak yang akan mengawinkan anak mereka beberapa bulan ke depan.
Tentu saja, acara perkawinan adalah momen yang berbahagia. Tergambar dengan jelas dalam lagu qasidah Penganten Baru dari Nasida ria. Pengantin, keluarga, saudara, tetangga, semua merasakan kebahagiaan dalam acara perkawinan.
Namun dibalik kebahagiaan itu, ada duka yang disembunyikan, yaitu duka karena harus menjalani tradisi kondangan yang membuat banyak orang di tempat saya tinggal kelimpungan.Â
Di sini, aturan tak tertulis saat kondangan adalah seseorang yang hadir memberikan minimal beras lima kilo, atau uang dengan nominal yang setara dengan itu sebagai wujud sumbangan/bantuan kepada shohibul bait acara perkawinan.
Sumbangan ini sebenarnya bersifat sukarela, tapi terhalang dengan perasaan "masa iya, kondangan gak bawa apa-apa". Dari perasaan itulah yang akhirnya menjadikan sumbangan ini wajib diberikan.
Bagi orang berduit banyak, mungkin tidak ada masalah ketika memberikan sumbangan itu saat kondangan. Tetapi, bagi orang dengan duit pas-pasan, tradisi ini terasa memberatkan.
Selama periode musim kawin ini bergulir, saya hitung sudah ada tujuh teman dan dua tetangga saya yang curhat mengeluhkan hal ini kepada saya. Keluhan mereka hampir sama, "Duh! Undangan kawinan banyak banget. Duitku habis cuma buat kondangan".
Setiap saya mendengar keluhan itu, saya kasih solusi daripada pusing, mending tidak usah datang kondangan saja. Dan jawaban mereka bisa ditebak, "Edan kowen, Dul! Udah dapat undangan kok gak datang. Ya gak kepenak lah! Bisa memutus silaturahmi".Â
Setelah dipikir lagi, solusi dari saya memang edan. Tradisi memberikan sumbangan saat kondangan mungkin tidak bisa dihilangkan. Konon, tradisi ini adalah bentuk perwujudan dari sifat gotongroyong masyarakat kita. Bahu membahu saling membantu.