Yee... akhirnya kita berangkat juga. Pagi itu saya sudah bersemangat sekali sampai akhirnya muntah-muntah karena kurang sarapan dan efek pengaruh minum obat anti malaria yang buat mual. Para personel semua dikumpulkan, setelah yel-yel (bukan saya yang yel2) wkwkw... kita melaju ke Paniai dengan waktu tempuh sekitar 6 jam.Â
Saya mulanya duduk di sebelah anak UGM yang saya suka dari dia down to earth meski sebenarnya dia cukup keren dengan menjelajah banyak gunung. Tapi sampai di Siriwo saya dipindahkan ke mobil satunya karena saya tidak nyaman duduk bertiga begitu hehe. Â Singgah di Siriwo kami makan siang dengan harga makanan sangat wow... semua di atas Rp 20 ribu. Memang baru terasa harga makanan di Papua mahal untung saya sudah dikasih uang saku jadi aman.Â
Selama perjalanan, saya tuh cerewet tanya-tanya sama driver yang ternyata menjadikan mobil-mobil fortunernya sebagai angkot untuk masuk ke pedalaman. Fenomena unik ini yang saya jadikan berita. Dan ternyata.....Â
Berita saya dinobatkan sebagai salah satu BEST INSPIRATION NEWS 2018 di kanal oto di media no 1 di Indonesia.Wah! bukan cuma itu, berita saya jadi viral sampai diambil sama infia dan sejenisnya, Banggaaa!! Pun berita saya di follow up sampai pihak Toyota pun angkat suara. Aku jadi syeneng. hehehe.Â
Ternyata dari semua pengalaman mereka para driver saya menyimpan haru dan miris. Mereka yang rata-rata orang sulawesi itu harus mengantar para penumpang dengan ancaman yang begitu serius selama 6 jam. Mulai dari pemalakan, penodongan, perampokan sampai hilang nyawa. Sopir saya bahkan sudah berkali-kali parang dan pistol nempel di lehernya cuma karena uang. Jadinya uang hasil mereka mengantar pun jadi ke kantong para penjahat. Saya pun akhirnya dekat dengan para sopir ini.Â
Saya tanya kenapa masih mau mempertahankan pekerjaan ini, mereka bilang pekerjaan ini yang hasilnya lumayan, dan mereka gak pernah bilang ke keluarga kalau mereka setiap hari harus was-was dan hampir hilang nyawa. Jadi masih mengeluh kalian merasa kurang beruntung? mikir lagi deh. Si driver yang saya lupa namanya ini pun baiq banget mengantar saya kemana aja. Sebuah pelayanan yang sungguh memuaskanÂ
Dia juga cerita dulu sebelum ada jalan Transpapua seperti sekarang ini, dia harus menempuh paniai berminggu-minggu membelah gunung dan laut sekarang cuma 6 jam. Jadi terima kasih kepada pakde Jokowi dan SBY hehehe. Pak sopir saya juga membawa mobilnya pun asik banget sampe saya kerjanya tidur terus karena saking nyamannya, padahal jalan yang dilalui juga banyak yang rusak.Â
Setelah dari Siriwo, petugas yang mendampingi saya membisiki kalau ada air terjun di dekat sana. Awalnya tak ada rencana untuk mampir. Tapi saya minta untuk kita berhenti di sana untuk pengambilan gambar. Akhirnya semua berhenti dan senang bukan kepalang personel ekspedisi liat air terjun sebegitunya wkwkwkw..lagi-lagi power of journalist ya buuk...Â
Dari Siriwo kita singgah di Mapia, udara sejuk langsung terasa karena ini terletak di daratan tinggi. Anjing-anjing sudah berkeliaran dan membuat saya takut. Masuk ke sarang teroris sampai KKB sih oke giran ketemu anjing jiper. Itu saya! wkwkwk.Â
Di setiap pemberhentian rombongan kami mengecil karena mereka ditugaskan di tempat tersebut. Ada mahasiswa dan petugas yang akan melakukan ekspedisi mencari potensi jenis penerangan apa yang paling pas untuk daerah tersebut. Ditambah gimana cara pasangnya gitu, jadi ini masih ekspedisi sejenis survei.Â
Dari Mapia kami lanjut ke Wagete di sini memasuki kawasan pasar, saya tuh selalu tertarik dengan aktivitas masyarakat seperti ini maka saya buka jendela lebar-lebar siap membidik foto. Tapi langsung ciut karena ada yang pernah kasih kabar kalau banyak orang Papua belum bisa menerima difoto, bahkan yang ekstrem bisa direbut kameranya. Ada yang bilang kalau terjepret kena flash itu jadi kayak semacam bala untuk mereka. Maka saya ragu tapi lagi sopir dan pendamping saya meyakini bahwa semua baik-baik saja. Maka saya jepret dan tak terduga lambaian tangan dari mama mama yang sedang berjualan malah saya dapat. Ugh senangnya.Â
Saya lirik sekilas personal-personel gerombolan yang paling berisik selama di Nabire. gerombolan laki-laki yang juga mendekati meminta nomor telepon dengan alasan klo ada berita dia mau share. Ckkkckkk... saya tak membayangkan malah berujung seperjalanan dengan mereka, tak tahu lah jadinya apa mengingat saya gak pernah suka dengan attitude mereka yang sok asik. Makanya muka belagu saya pasang baik-baik.Â
Sedang termenung tiba-tiba di sebelah saya ada orang mabuk mengetuk-ngetuk kaca dengan kasar. belum juga semenit dia sudah di smackdown sama aparat wkwkw syukurin! Aparat mengingatkan saya untuk waspada karena setiap malam banyak pemabuk berkeliaran.
Ternyata belakangan saya tahu juga lelaki di Papua juga terkenal dengan streotipe tukang mabuk dan bermain judi sementara sang mama alias istrinya bekerja membanting tulang. Itu katanya sebagai konsekuensi para lelaki membeli mahar yang mahal untuk menikahi mereka. Sedih.
Sayang, saya tak punya cukup waktu untuk menelusuri budaya seperti ini untuk ditulis, padahal di NTT dulu saya tulis soal belis yang juga jadi mahar termahal berupa gading gajah. Kadang merasa penting untuk nulis kritik sosial seperti ini karena budaya tuh harusnya membangun bukan menghancurkan.Â
Sampai di Enaro saya tak punya pilihan selain mencoba berteman dengan segerombolan laki2 itu karena saya takut anjing. wkwkwk jadi gampang gitu kalau minta tolong wkwkw.Â
Dan ternyata sampai disana besoknya kita gak bisa langsung survei. Ini buat saya makin stress karena saya berlomba dengan waktu. Saya punya waktu cuma sekitar 3-4 hari lagi. Sial tak ada sinyal, saya tak bisa mengirim apapun ke kantor. Kalau ada sinyal saya buru-buru telp si bos dan mengabarkan kalau saya terlambat pulang karena belum dapat berita utama.Â
Setelah makan malam berupa sate asal pedagang Jawa kami tidur di hotel yang depannya adalah tukang daging ayam potong jadi setiap pagi becek dan berbau ayam wkwkw.
Jangan sedih! meski saya ditempatkan di kamar hotel seharga 700 ribu semalam ternyata memprihatinkan, air tak ada dan hanya menetes hingga buat saya tak pernah mandi di pagi hari.
Jadi setiap malam saya menampungnya di gayung lalu diisi ke ember jadi kebayang berapa bnayak air yang saya punya. Meski kadang-kadang mengalir deras. Kadang lho ya. Kebayang gimana kalau mau buang air besar wkwkw.Â
Ini makin diperparah dengan banyak nyamuk dan suhu yang buat menggigil maka jadilah saya tidur meringkuk dengan kaos kaki. Plus setiap jam 6 pagi mati lampu. Sungguh bukan pengalaman menyenangkan. Tapi semua terbayar dengan keseruan ekspedisi yang akan kami jalani. gimana ceritanya? tungguin kelanjutannya. Cek videonya di sini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H