Dari Mapia kami lanjut ke Wagete di sini memasuki kawasan pasar, saya tuh selalu tertarik dengan aktivitas masyarakat seperti ini maka saya buka jendela lebar-lebar siap membidik foto. Tapi langsung ciut karena ada yang pernah kasih kabar kalau banyak orang Papua belum bisa menerima difoto, bahkan yang ekstrem bisa direbut kameranya. Ada yang bilang kalau terjepret kena flash itu jadi kayak semacam bala untuk mereka. Maka saya ragu tapi lagi sopir dan pendamping saya meyakini bahwa semua baik-baik saja. Maka saya jepret dan tak terduga lambaian tangan dari mama mama yang sedang berjualan malah saya dapat. Ugh senangnya.Â
Saya lirik sekilas personal-personel gerombolan yang paling berisik selama di Nabire. gerombolan laki-laki yang juga mendekati meminta nomor telepon dengan alasan klo ada berita dia mau share. Ckkkckkk... saya tak membayangkan malah berujung seperjalanan dengan mereka, tak tahu lah jadinya apa mengingat saya gak pernah suka dengan attitude mereka yang sok asik. Makanya muka belagu saya pasang baik-baik.Â
Sedang termenung tiba-tiba di sebelah saya ada orang mabuk mengetuk-ngetuk kaca dengan kasar. belum juga semenit dia sudah di smackdown sama aparat wkwkw syukurin! Aparat mengingatkan saya untuk waspada karena setiap malam banyak pemabuk berkeliaran.
Ternyata belakangan saya tahu juga lelaki di Papua juga terkenal dengan streotipe tukang mabuk dan bermain judi sementara sang mama alias istrinya bekerja membanting tulang. Itu katanya sebagai konsekuensi para lelaki membeli mahar yang mahal untuk menikahi mereka. Sedih.
Sayang, saya tak punya cukup waktu untuk menelusuri budaya seperti ini untuk ditulis, padahal di NTT dulu saya tulis soal belis yang juga jadi mahar termahal berupa gading gajah. Kadang merasa penting untuk nulis kritik sosial seperti ini karena budaya tuh harusnya membangun bukan menghancurkan.Â
Sampai di Enaro saya tak punya pilihan selain mencoba berteman dengan segerombolan laki2 itu karena saya takut anjing. wkwkwk jadi gampang gitu kalau minta tolong wkwkw.Â
Dan ternyata sampai disana besoknya kita gak bisa langsung survei. Ini buat saya makin stress karena saya berlomba dengan waktu. Saya punya waktu cuma sekitar 3-4 hari lagi. Sial tak ada sinyal, saya tak bisa mengirim apapun ke kantor. Kalau ada sinyal saya buru-buru telp si bos dan mengabarkan kalau saya terlambat pulang karena belum dapat berita utama.Â
Setelah makan malam berupa sate asal pedagang Jawa kami tidur di hotel yang depannya adalah tukang daging ayam potong jadi setiap pagi becek dan berbau ayam wkwkw.
Jangan sedih! meski saya ditempatkan di kamar hotel seharga 700 ribu semalam ternyata memprihatinkan, air tak ada dan hanya menetes hingga buat saya tak pernah mandi di pagi hari.
Jadi setiap malam saya menampungnya di gayung lalu diisi ke ember jadi kebayang berapa bnayak air yang saya punya. Meski kadang-kadang mengalir deras. Kadang lho ya. Kebayang gimana kalau mau buang air besar wkwkw.Â