Saya juga bertemu dengan dua ibu muda yang heboh dan ditemani sama sang guide saya melipir untuk mendengarkan beberapa penjelasan dari guide yang ternyata si engkoh ini bukan cuma kaya tapi juga berjasa bagi negara dan juga punya banyak perkebunan di sana sini.Â
Anak Tjong a Fie ada juga yang nikah sama orang Belanda, nah keturunan ini yang saya temui di sana. Ada satu foto yang bikin saya betah berlama-lama, itu foto anak ketiga sang juragan yang menurut saya menjadi simbol keseksian wanita.
 Iya soalnya di zaman itu jarang ada wanita yang berani foto dengan selembar selendang doang. Sekarang makam tjong afie ada di pemakaman kelas premium yang juga menjadi makam keluarga.Â
Saat melihat-lihat beberapa berita nasional yang memampang si kakek bareng pejabat negara, saya bertemu dengan satu fotografer, dia wartawan juga. Dari sini saya baru bisa rileks setelah sendirian mengelilingi rumah berlantai dua ini.Â
Namanya rumah tua pasti meninggalkan aura-aura mistis ya dari penunggunya. Semua keluarganya juga tidak ada lagi yang tinggal di sini semua tersebar dimana-mana. Hujan gerimis masih terus turun sore itu mengakhiri perjalanan saya.Â
Belum tuntas sih sebenarnya karena malam di tengah gerimis saya juga keluar lagi sendiri mencari makan di pusat kuliner medan. Waktu itu teman saya yang asal medan merekomendasikan salah satu makanan sejenis dimsum yang lumayan lah enak tapi kalau kebanyakan enek juga. Sembari makan saya berharap saat itu saya tak berjalan sejauh ini sendiri. Sedih akutuh. Videonya bisa dilihat di sini.