Saya prihatin si warga maupun pemda di sini gak bisa menjaga daya tarik wisata mereka kayak gini. Malin tidak lebih dari seonggok batu pantai. Tak heran, sopir saya yang asli orang Minang pun berbisik mana tahu kalau dia itu cuma semen yang dibentuk.Â
Hm... sarkas yang menusuk hati padahal berpuluh tahun kita meyakini mitos kutukan Malin kundang. Yang katanya juga membatu bersama kapal-kapalnya. Saya sendiri sih gak peduli itu semen atau emang bener kutukan karena yang saya peduliin justru cerita malin yang sebenernya punya kekuatan budaya kalau didukung sama situs yang bagus gitu. at least dipagerin diberi pembatas jadi orang yang sembarangan memperlakukan si Malin.Â
Sebenarnya, saya sudah menahan diri dengan perilaku warga Padang seperti ini. Malahan komentar pedas datang dari driver saya yang orang Bukittinggi, "dasar orang Padang" katanya mengutuki saat ada anak yang tiba-tiba ketuk kaca kami memalak uang parkir.Â
Saya bingung, lah si abang kan juga orang padang. Namun dia bilang beda lah bukittinggi sama orang padang itu kelakukannya. Bahkan dia enggan mengaku disebut orang Padang tapi orang Bukittinggi.Â
Baeklah saatnya ke hotel, kami menginap di Hotel Medan yang sebenarnya letaknya strategis namun tua hiiii.... yah, apa boleh buat ya tinggal semalam ini. Di sini juga saya janjian bertemu dengan teman kuliah saya malam itu dan memutuskan untuk makan bersama. Akhirnya setelah menyusuri jalan cukup jauh kita makan di warung seafood yang sebenarnya rasanya sudah dingin karena kita sudah terlalu malam ke sana.Â
Tapi rumah makan ini membuat saya dan teman saya sengsara karena sampai jakarta kami semua kompak menci menci. bahkan saya harus menahan desakan perut di gojek sampai gak bisa jalan dan harus membuangnya di toilet kantin. Sungguh mengenaskan. Ya perjalanan kami ditutup dengan menci-menci. Video lengkapnya lihat di sini ya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H