Total sekitar 4 jam dari Bukittinggi ke Kota Padang kita lalui. Setelah sebelumnya mampir dulu ke air terjun Lembah Anai. Karna masih jam 3an maka kita berencana makan dulu ke tempat makan yang paling enak di Kota Padang.Â
Lalu setelah berdiskusi dengan sangat panjang akhirnya diputuskanlah makan martabak kubang. Meluncurlah saya ke situ, si warung baru aja buka jadi belum ada makanan yang ready.Â
Ternyata juga tempat ini jadi tempat kumpul emak-emak makanya kita optimis martabak ini pastilah enak. Benar saja, pas datang mie goreng dan nasi gorengnya yang kemerahan enak banget kaya bumbu mirip kayak mie goreng aceh. Plus martabaknya juga tebel dan penuh daging yang bersesakan di dalamnya. Kebayang dong enaknya.Â
Dari situ kita memutuskan beli oleh-oleh yang ternyata mahal-mahal hahaha jadi beli aja pernak-pernik yang kecil-kecil. Sebelum itu juga kita terpukau sama bangunan berbentuk atap rumah gadang dan ternyata adalah masjid raya, sungguh beda kan biasanya atasnya bentuk kubah tuh kan.Â
keliling kota padang, saatnya menuju pantai air manis alias bertemu si malin kundang. Untuk ke pantai air manis ternyata lumayan jauh juga dan mendaki. Kita juga melewati jembatan siti nurbaya yang kanan kirinya diisi pedagang kuliner jagung dan roti bakar.Â
Ternyata itu sengaja dilakukan supaya semua pengunjung masuk dari pintu utama dan mau menyewa apv mereka yang dibanderol 100 ribu. Licik. Tapi saya ogah mending saya keluar lagi menuju pintu belakang daripada harus naik apv meski itu berarti harus bayar pintu masuk lagi yang harganya 10-20 ribu.Â
Maksud saya tuh, yah gak usah menyesatkan gitu lah sampai dicoret plang yang sesungguhnya memang sudah benar. Heran saya. Maka kami pun putar balik ke pintu paling belakang, kami benar-benar sudah tak sabar melihat si Malin yang baru-baru sudah mengerjai kami begini.Â
Kami tambah bingung karena harus melewati sesaknya pertokoan yang ada di pantai. Saya juga baru pertama kali liat pantai begini bising jauh dari ketenangan, penuh sampah dan toko. Bahkan mobil parkir di pantai bukan lagi di area parkir sungguh pantai yang jelek estetikanya. Akhirnya kami bertemu dengan malin yang lagi tersungkur bersujud. Si mama yang gregetan langsung menginjak-injak Malin sambil ngomel-ngomel katanya kemana aja nyusahin hahaha...Â
Saya ngeliatnya pun terbahak dalam diam hahaha. Saya sebenernya prihatin dengan keadaan Malin sudah dikutuk di patungnya dipenuhi sampah dan warung hahaha. Ketahuan banget gak ada yang peduli dengan keberadaan Malin padahal bagi kami warga jakarta begitu penasaran sama dia sampai kami ditipu-tipu orang.Â
Saya prihatin si warga maupun pemda di sini gak bisa menjaga daya tarik wisata mereka kayak gini. Malin tidak lebih dari seonggok batu pantai. Tak heran, sopir saya yang asli orang Minang pun berbisik mana tahu kalau dia itu cuma semen yang dibentuk.Â
Hm... sarkas yang menusuk hati padahal berpuluh tahun kita meyakini mitos kutukan Malin kundang. Yang katanya juga membatu bersama kapal-kapalnya. Saya sendiri sih gak peduli itu semen atau emang bener kutukan karena yang saya peduliin justru cerita malin yang sebenernya punya kekuatan budaya kalau didukung sama situs yang bagus gitu. at least dipagerin diberi pembatas jadi orang yang sembarangan memperlakukan si Malin.Â
Sebenarnya, saya sudah menahan diri dengan perilaku warga Padang seperti ini. Malahan komentar pedas datang dari driver saya yang orang Bukittinggi, "dasar orang Padang" katanya mengutuki saat ada anak yang tiba-tiba ketuk kaca kami memalak uang parkir.Â
Saya bingung, lah si abang kan juga orang padang. Namun dia bilang beda lah bukittinggi sama orang padang itu kelakukannya. Bahkan dia enggan mengaku disebut orang Padang tapi orang Bukittinggi.Â
Baeklah saatnya ke hotel, kami menginap di Hotel Medan yang sebenarnya letaknya strategis namun tua hiiii.... yah, apa boleh buat ya tinggal semalam ini. Di sini juga saya janjian bertemu dengan teman kuliah saya malam itu dan memutuskan untuk makan bersama. Akhirnya setelah menyusuri jalan cukup jauh kita makan di warung seafood yang sebenarnya rasanya sudah dingin karena kita sudah terlalu malam ke sana.Â
Tapi rumah makan ini membuat saya dan teman saya sengsara karena sampai jakarta kami semua kompak menci menci. bahkan saya harus menahan desakan perut di gojek sampai gak bisa jalan dan harus membuangnya di toilet kantin. Sungguh mengenaskan. Ya perjalanan kami ditutup dengan menci-menci. Video lengkapnya lihat di sini ya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H