Dari pasar kita masak-masak sebentar, dan kembali keimplusifan saya muncul. Saya mendadak pengen ke pantai. Maka jadilah sore itu saya berangkat ke pantai setelah mengajarkan heejin menggambar kupu-kupu yang lalu dia pamerkan ke ayahnya hahha...
Harga becak ke arah pantai sekitar 30 ribu. Saya sewa untuk PP e tapi ya jauh banget ternyata sampai ga nyampe-nyampe rasanya. Saya kasian si sama abang becak untung dia masih muda jadi sedikit lega. Sampai di sana saya hanya sebentar menunggu tenggelamnya sang surya di Pantai Tegal Wangi.
Namun karena tegal tidak terletak di barat Jawa maka yang terjadi saya kebingungan mencari arah sang senja. Hari itu tampak tak begitu istimewa , pantainya pun kotor penuh sampah dedaunan dan berwarna hitam, airnya juga tak kalah jelek.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/11/12010758-10204892349652860-4165597024225567377-o-5c619a26c112fe7e654c6633.jpg?t=o&v=555)
Belum lagi pemda sana pun belum ngeh soal peluang pariwisata digital atau instagramable semua tampak tak tertata dan serba biasa tak ada yang menarik. Tak heran senja pun enggan menampakkan pesonanya.
Dari sini kita pulang ke rumah sepupu dan ternyata jalan yang ditempuh setengah jauhnya dari jalan berangkat. Saya terheran-heran tapi tak bertanya. Seheran saya dengan nama Rita yang ada di mana-mana Rita mal, supermarket sampai tempat bermain. Jadi siapakah Rita hahaha...katanya pengusaha di kota Tegal. Keren juga dia bisa monopoli gitu hahaha... perjalanan di Tegal mengajarkan saya bahwa segalanya tak perlu bergantung dengan orang karena semua kesenangan diri sendiri yang menentukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI