Tinggal beberapa jam lagi waktu keberangkatan menuju pendakian Bromo melihat pesona sunrise yang dalam bayangan saja sudah cantik aduhai.
Namun mata saya belum terpejam padahal tabungan istirahat sungguh penting kala ini. Bukan tanpa alasan saya tidak bisa tertidur, apalagi kalau bukan betis berdenyut-denyut karena terlalu tak terbiasa aktivitas ekstra. Saya pikir koyo bisa meredam denyutannya, tapi apalah daya tak ampuh juga.
Namun karena terlampau keras merasakan denyutan sakitnya, saya pun tertidur pulas hanya 1 jam sebelum keberangkatan. Sekitar pukul 2 malam, pintu digedor maka saatnya untuk bersiap. Di luar dingin sudah menggigit saya memkai 3 lapis baju plus 2 lapis celana untuk menghalau segala dingin ini dan hati (eh).
Lalu tak lama kami disuruh naik jeep dengan cewe-cewe yang saya tak kenal. Kami duduk berdekatan namun apes di sebelah saya adalah abang pemandu tur yang membuat saya sedikit tidak nyaman.
Benar saja, sepanjang perjalanan saya yang tertidur beberapa kali membentur bahu si abang tanpa sadar. Entah bagaimana posisinya saya tak mau pikirkan karena terlalu malu.
Kalau tidak kepala saya membentur bahu abang, saya jatuh ke badan teman sebelah saya. Pokoknya itu kepala bergerak sesuai irama pengereman mobil jeep lah hahaha...
Namun belum juga separuh jalan tiba-tiba rombongan berhenti karena ada satu mobil jeep yang rusak. Entah kenapa satu mobil rusak semua ikut berhenti saling tolong menolong yang menyebabkan perjalanan molor sekitar 1 jam. Beberapa orang turun tapi saya yang sempat tempat turun memilih naik lagi karena debu dan dingin yang tak main-main. Seitar 12-14 derajat saat itu.
Yang saya perhatikan, memang rata-rata wisatawan harus menyewa jeep untuk naik ke Bromo karena medannya berat, jikapun mau naik motor trill. Dan di sekitar kabupaten ini ada terminal khusus pick up penumpang yang memang backpacker ke sini bukan opentrip. Mobil-mobil ini kebanyakan milik pribadi dan keluarga di daerah sini yang semua mobilnya tercatat keluar masuknya.
Ok lanjut tidur, hahaha.. maksudnya perjalanan. Sekitar 1 jam lumayan saya dibangunkan karena sudah sampai. Semua tampak gelap ditambah saya yang baru bangun tidur masih oleng. Maka perlu penyesuaian terlebih dahulu, suara teriakan penyewa sweater semakin menyadarkan saya kalau saya beneran sudah sampai.
Bergandengan tangan saya mulai menanjak yang baru beberapa ratus meter sudah disambut warung kopi hahaha... Saya pikir bakal jauh ternyata dekat saja spot sunrisenya. Kami minum kopi dan sarapan sejenak di sana dengan kondisi lampu mati hidup dari genset. Yang menjadi arena berebutan adalah perapian penghangat badan. hahaha.... siapa yang cepat dia yang dapat.
Saya sih, heran kenapa tidak ada listrik ya di sini sampai musti pake genset padahal ini tempat wisata besar dengan ratusan turis tiap harinya. Kami juga solat di sini berdesak-desakan dengan toilet yang minim sementara pengunjung semakin banyak.
Selepas subuh, kami langsung mencari spot paling bagus tapi susah sekali karena pengunjung terlalu banyak. Kondisi ini sama seperti waktu memburu sunrise di sikunir Dieng. Saya selalu mengutuki kondisi seperti ini karena membuat pemburuan foto sulit dan tidak syahdu untuk menikmati sang surya terbit.
Oke fokus lagi ke Bromo. Jadi akhirnya saya berdua dengan teman saya nekat pisah dengan rombongan untuk mencari spot terbaik sampai harus naik tebing dan molos dari pagar pembatas. Akhirnya kita dapat spot-spot yang benar-benar bagus meski harus hati-hati dan bergantian dengan turis lain. Turis asing banyak terlihat di sini, dari Eropa sampai China, benar mereka terkesima dengan keindahan dari cipatan agung Ilahi ini.
Dari spot sunrise kami bergeser ke Pasir Berbisik. Kali ini menikmatinya dengan cara yang ekstrem yaitu naek di atas jeep. Asyiknya saya sama teman-teman cowo-cowo nikmati terpaan angin dipadu debu Bromo dengan lantunan coldplay yang sukses disuarakan dengan sumbang. Hahaha tapi lelaki memang selalu punya cara seru untuk nikmati perjalanan. I Love It.
Sampai di sana pun kami berfoto-foto dan entah kenapa foto loncat jadi foto wajib. Selain foto loncat malah pake foto ala-ala pendekar dan jagoan gitu hahaha... dasar norak!
Puas berfoto yang juga dibantu sama Pak guide yang jadi andalanque kita bergeser ke Kawah Bromo, entah kenapa si guide suka banget fotoin saya candid meski ga mau mungkin demi rupiah kali yak hahaha...
Nah, di sini juga puncaknya. Banyak yang nawarin tunggangan kuda dengan tarif 50 ribu sekali jalan. Emang sih itu jauh banget rasanya hahaha... sampe hayati lelah. Tapi karena kita sembari mengobrol tentu gak kerasa, dan gak kerasa juga tau-tau nginjek ee kuda. Hahaha...
Baiklah setelah sukses menyelesaikan ratusan anak tangga, kami tiba di bibir kawah yang mengepul dan mengeluarkan bau belerang. Beberapa berkumpul di satu titik untuk menyaksikan panoramanya sekaligus berfoto meski ini membuat jalan susah karena super kecil dan kanan kiri sangat bahaya.
Saya pun menghela napas sebentar sampai teman saya ribut minta foto, oke cekrek, dia minta lagi karena gak sesuai, cekrek, dia minta lagi, cekrek. terus begitu. Sampai saya menyerah mengibarkan bendera putih karena saya terlampau lelah untuk foto-foto orang. Harap mengerti ya Wi hahaha...
Tapi kata dia sayang kalau sudah sampai atas gak dapat foto yang bagus. Makanya dia yang melihat saya sudah gak nafsu foto mencari fotografer lain dan hasil fotonya amazing. Sementara saya sekedarnya saja lah. Muka juga udah butek ketutup debu plus harus lepas masker saat foto. Itu sungguh merepotkan.
Bahkan si laki-laki juga minta saya jadi model fotonya karena dianggap bagus, saya diberi arahan untuk mengikut gaya dia, muka saya diputer-puter sedemikian rupa. Sampai dimiringkan sambil nyerocos "Biasa aja muka lu apa!" laaaahhhh.... kan lu yang minta hahah
Dia juga foto saya dengan slow motion yang sayangnya malah disimpen buat dokumentasi dia karena pas dikirim ke saya ga ada slow motionnya. padahal bagus, karena dia ambilnya candid alias pura-pura saya disuruh jadi modelnya haaha....
Oke setelah puas di sini, kami bergeser ke bukit teletabis yang membuat gak banyak orang menikmatinya selain karena terbakar, kelompok kami juga sudah kelelahan. Memang pascakebakaran panoramanya jadi gak bagus. Saya dibisiki sama sopir saya kalau ini sengaja dibakar untuk mengundang dewa menurunkan hujan. Itu menurut kepercayaan suku di sini. Oke baiklah. Â
Dari bukit Teletabis, kami pulang yeeee! dan saya tertidur pulas sampai terlalu pulas hingga badan saya terhuyung menubruk teman saya yang lagi lelap tidur juga. Dia kaget saya juga hahaha... tapi kami sama-sama tidur kembali sampai akhirnya kembali ke homestay untuk kembali ke Jakarta, tapi saya harus lewat Surabaya dulu. Cerita di Surabaya pun tak kalah seru lhooo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H