Mohon tunggu...
Bang Taqiem
Bang Taqiem Mohon Tunggu... Guru - Guru PNS, Pembina pramuka, Desain Grafis, Video maker, Inisiator timdelapan.

Belajarlah dari rindu, terus bertumbuh menjadi baru, tapi tak pernah menjadi lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bullying dan Selera Humor Anak-anak Kita yang Rendah

20 Mei 2020   01:39 Diperbarui: 20 Mei 2020   01:54 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya ingin mengomentari dua hal tentang kejadian perundungan terhadap Rizal di Pangkep yang viral kemarin, Pertama, Apa yang terjadi setelah para pelaku ditangkap ? sebagian dari kita mengorek informasi pelaku di media sosial, kemudian membullynya secara berjamaah Lewat komentar, meme, membuat thread di twitter dll. ini menandakan bahwa kita dan pelaku sepertinya sama saja. 

Padahal bukankah sebagai upaya proporsional dan usaha menjadi Social Justice Warior sebaiknya menghindari hal tersebut? mungkinkah kita merasa lebih superior dan lebih baik dibanding pelaku ? atau jangan-jangan kita dan pelaku punya watak yang sama meski dengan perlakuan yang berbeda. 

Mungkin benar yang dikatakan Tere Liye; "Manusia selalu menjadi pengacara hebat bagi kesalahan diri sendiri, tapi berubah jadi hakim yang masyhur untuk kesalahan orang lain". Kita peduli terhadap korban, tapi di waktu yang hampir bersamaan kita menggantikan pelaku melakukan hal yang lebih buruk lagi.

Yang kedua, saya lebih melihat fenomena perundungan (bullying) terjadi karena faktor selera humor pada anak-anak kita yang sangat rendah. Sejak institusi pendidikan ada, akan selalu ada anak yang dicap "nakal" di kelas, yang senang mengusili temannya. 

Tapi, siapa teman akrab yang tidak tertawa terbahak-bahak, melihat ada teman dekatnya, secara tidak sengaja tercebur ke selokan, dimarahi guru, teman dekat mana yang tidak tertawa melihat temannya terpeleset dan jatuh secara tidak sengaja, dan menjadi bahan candaan sepanjang hari, atau siswa mana yang tidak merasa bahagia jika mencandai temannya dengan menyebut nama orang tuanya, menyebut kekurangan fisiknya, atau yang lainnya. Bagi mereka, itu candaan dan tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Tapi jelas ini sangat tidak baik untuk perkembangan selera humor anak-anak sekaligus perkembangan jiwa mereka.

Jika tak ada pekerjaan yang berarti, saya biasanya bergabung dengan anak-anak ketika berkumpul atau bermain dengan teman-temannya diluar jam pelajaran sekolah. Ikut ngobrol dengan mereka, tertawa sambil mengamati cara bercanda, melempar humor dan pola interaksi mereka, lalu dibagian mana mereka menikmati itu dan apa reaksi anak yang dicandai (dibully). 

Yang saya temukan seperti ini, bahwa humor dan candaan yang berujung kepada perundungan (bullying) adalah perilaku bentukan yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial mereka. Lingkungan sosial yang saya maksud bisa saja berawal dari rumah, lingkungan sekitar bahkan sekolah. Humor dan candaan sebenarnya memainkan peranan penting dalam pola interaksi anak-anak khsususnya di sekolah. Meski negatif, humor dan candaan mereka gunakan untuk meningkatkan status penerimaan di depan teman-teman mereka.

Ini sejalan dengan studi di Universitas Keele, Inggris, atas 1.200 anak yang meneliti hubungan antara korban bullying dan jenis humor yang disukai. Hasilnya menunjukkan bahwa humor positif digunakan oleh anak-anak untuk meningkatkan status mereka di depan teman-temannya. Sedangkan anak korban bullying cenderung melakukan hal yang berlawanan. Psikolog Claire Fox juga mengatakan humor yang tepat dapat menjadi 'senjata' untuk mencegah anak-anak menjadi korban bullying. 

Tugas para orangtua dan guru sebenarnya terletak pada dua hal yang krusial itu, mendidik anak-anak dan membentuk selera humor mereka kearah yang lebih positif, juga sekaligus membentuk perilaku mereka untuk tidak melakukan perlawanan ketika dibully. Selain itu, para orang tua dan guru juga perlu memahami pola tertentu yang membentuk selera humor mereka. mengapa ada sebagian anak yang niatnya bercanda, melempar humor tapi ditanggapi datar atau bahkan ditanggapi negatif.

ini disebabkan banyak faktor, yang pertama; Kemampuan berbahasa anak-anak. Seiring meningkatnya kemampuan berbahasanya, kosa katanya juga akan bertambah. Oleh karena itulah, mereka mulai bisa menemukan kata-kata yang menurutnya akan membuat orang lain tertawa. Memproduksi cerita lucu yang pernah mereka dengar dari orang lain ke versinya sendiri. Jika lingkungan yang sering mereka dengar lebih banyak menggunakan Bahasa daerah, maka kosakata itulah yang akan mereka sering gunakan. 

Yang kedua; Kemampuan berpikir. Kira-kira apa yang membuat sesuatu lucu dan ditertawakan? Mungkin karena ada sesuatu yang tidak sesuai, tidak logis, atau tidak rasional pada situasi tertentu. Itulah definisi humor. Untuk menangkap dan memproduksi humor, diperlukan kemampuan berpikir di luar logika dan rasionalitas tersebut. 

Kemampuan berpikir abstrak tiap anak yang berbeda-beda tentu akan memengaruhi selera humor mereka. Terkadang mereka mencernanya dengan cara berfikir konkrit sesuai pola berfikir mereka. Inilah mengapa sebagian dari anak-anak kita melakukan perlawanan negatif ketika mereka menjadi objek candaan, karena mereka belum begitu mengerti membedakan dan memposisikan sesuatu yang abstrak, semuanya konkrit.

Dan yang terakhir adalah faktor selera humor keluarga di rumah. Selera humor anak-anak kita juga merupakan representasi selera humor keluarga di rumah. Nilai-nilai yang ditanamkan orang tua sangat berpengaruh. Contohnya jika orang tuanya tertawa pada humor-humor slapstick seperti menertawakan orang yang jatuh, maka hal itu juga berpengaruh pada selera humor anak. Dampaknya adalah anak yang besar di keluarga dengan selera humor seperti itu akan menganggap bahwa mengganggu atau berbuat usil pada temannya seperti menjitak tiba-tiba, menarik jilbab teman perempuannya, memanggil-manggil nama orangtua temannya sebagai humor, lalu perilaku itu dibawa ke sekolah dan di lingkungan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun