Sebelum ke puisinya, Aku ingin menyampaikan terkait latar belakang terciptanya puisi ini.
Puisi ini muncul dari rasa kebingungan yang mendalam dalam diriku, terutama tentang perjalanan mencari jati diri dan mencoba memahami hal-hal yang sulit aku pahami. Musik adalah salah satu bagian dari hidup yang selalu terasa jauh, seolah aku buta akan irama dan melodi yang seharusnya bisa ku rasakan. Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa kesulitan untuk menyatu dengan hal-hal yang seharusnya mengalir dengan alami.
Aku merasa seperti seorang murid yang tak kunjung paham meskipun sudah diajarkan berkali-kali. Di satu sisi, aku menghargai usaha orang-orang yang sabar mengajariku, namun di sisi lain, aku merasa cemas dan sedih melihat kebutaanku yang seolah tak ada ujungnya. Bagaimana aku bisa menjiwai lagu jika aku tak bisa merasakan harmoni yang ada?
Puisi ini adalah gambaran dari perasaan tersebut: kebingungan, kelelahan, dan keinginan untuk terus belajar meskipun tampaknya jalan itu penuh dengan ketidakpastian. Ketika aku menulisnya, aku juga mencoba untuk melepaskan sedikit beban yang ada di hati dan berbagi perasaan tersebut. Mungkin, ini adalah cara untuk aku bisa berdamai dengan kebutaanku---baik dalam hal musik, maupun dalam hal-hal lain dalam hidupku.
Aku ingin puisi ini menjadi bentuk pengakuan akan perjuangan batin yang kita semua hadapi, entah itu dalam memahami diri sendiri, mengejar impian, atau mencari makna dalam kehidupan. Semua itu butuh waktu, sabar, dan terkadang kebingungan yang tak bisa dielakkan.
Kurang lebihnya seperti itu. Berikut puisinya:
Atma dan Asrar
Nada, petikan, dan rasa Â
Ku buta pada bagiannya Â
Harmoni dalam jiwa, sebuah lagu hilang tanpa aba-aba Â
Rasa... Â
Sulit ku temukan diri dalam bait lirik dan menyatu dengan nada Â
Layu, begitu salah satu kata dari laguku Â
Layu... Â
Ku mulai layu, pasrah dengan kebutaan pada nada dan iringan musik Â
Lelah... Â
Namun bukan berarti menyerah Â
Aku lelah, tak juga paham dengan semua itu Â
Bingung cara memulainya Â
Bingung harus merasakan musik dan menjiwai lagu dengan cara apa Â
Aku benar-benar bingung Â
Iya, aku buta akan semua itu Â
Antara diriku, lagu, dan musik Â
Bagai minyak dan air, susah disatukan Â
Mungkin aku butuh sabun untuk menyatukan air dengan minyak Â
Tapi aku tak tahu siapa gerangan sabun itu Â
Jujur, aku tak mau seperti ini Â
Mereka mengajariku dengan sabar dan ikhlas Â
Aku menghargai itu, aku bersyukur dengan itu Â
Namun... Â
Aku juga sedih dengan kebutaanku Â
Sedih melihat mereka kehabisan akal Â
Harus mengajariku dengan cara apa lagi? Â
Sungguh aku sedih dengan semua itu Â
Harus bersikap apakah aku? Â
Aku hanya si buta yang mau belajar mengenali jalan Â
Jalan tanpa dusta, jalan tanpa ketakutan Â
Seiring berjalannya waktu Â
Aku mulai sadar Â
Kebutaan akan musik sungguh merepotkan mereka Â
Mengajariku berhari-hari dengan keikhlasan, juga dengan sebaran harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H