"Apa? Latop?" tanya Ibu. Aku menatapnya lekat-lekat, bukan kurang ajar, hanya beginilah caraku untuk memahami lawan bicara; membaca mulutnya.
"Bukan, Laptop." ujarku, dengan memperjelas di suku kata 'lap'.
"Oh, opo kuwi?"
Ya, Ibuku. Perempuan desa nan lugu, tidak tahu apa itu laptop. Ibu hanya sempat mengenyam kelas 2 SR. Jangankan piranti laptop dan gadget kekinian, hanya mengoperasikan hp jadul untuk membaca sms saja Ibu kesulitan.
"Itu Ibu, kayak komputer, tetapi bisa dijinjing-jinjing."
Ibu mengkerutkan keningnya, dengan bahasa Jawanya nan kental, Ibu mengutarakan keheranannya, "Apa ora kabotan?"
Apa tidak keberatan? Sangsinya. Aku tersenyum, garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Pira regane, Nduk?" tanya Ibu.
"Empat jutaan, Bu." Jawabku, sambil tertawa. Angka empat juta pada masa itu terhitung sangat berat. Seharga seekor sapi.
Aku tidak berharap lebih, hanya ingin bercerita kepada Ibu tentang satu barang impianku.