Mempunyai anak berkebutuhan khusus membuat Ibu harus bekerja lebih keras lagi. Â Hard of Hearing, istiah yang paling tepat untuk menggambarkan keadaanku sekarang. Telingaku tidak seperti orang pada umumnya, tetapi tidak juga tuli total. Aku masih mempunyai sisa pendengaran yang memungkinkan untuk berbicara. Namun, aku tidak bisa memahami suara tanpa melihat mulut lawan bicara.
Bayangkan saja suara radio yang tidak pas frekuensinya, kemresek. Begitu suara-suara yang masuk ke telingaku, aku tidak mampu membedakan huruf-huruf konsonan.Â
Aku membutuhkan buku-buku pendamping lebih banyak daripada teman-temanku yang Dengar. Membutuhkan biaya untuk ikhtiar pengobatan telinga. Membutuhkan waktu lebih banyak untuk belajar. Menyalin catatan teman kembali saat di rumah jika guru sedang menggunakan metode dikte.
Ibu dan Alat Bantu Dengar
Ibu berikhtiar mencari pengobatan telingaku ke dokter spesialis THT dan tabib-tabib yang dipercaya Ibu untuk menyembuhkan telingaku. Beberapa kali periksa, baik di dokter spesialis THT maupun tabib, belum ada perkembangan yang berarti pada pendengaranku. Hingga Ibu memutuskan untuk membeli Alat Bantu Dengar setelah mengumpulkan uang sedikit demi sedikit.
Alat Bantu Dengar seharga Rp. 1.200.000,00 dibawa pulang dengan harapan-harapan baru untukku. Tentang telinga yang diharapkan semakin baik untuk mendengar, tentang Ujian Listening yang semakin di depan mata-- aku sekolah di sekolah umum, harus menjalani Ujian Listening tanpa keringanan sedikit pun.
Sayangnya, aku tidak cocok memakai Alat Bantu Dengar karena bagiku Alat Bantu Dengar hanya bisa memperbesar suara dan aku masih harus membaca mulut lawan bicara.
Medio 2009, aku memutuskan untuk menyimpan Alat Bantu Dengar dan fokus mengembangkan diri daripada merutuki kenapa tidak ada perkembangan pada pendengaranku setelah melalui berbagai ikhtiar yang menguras materi, fisik, psikis dan waktu.
Alat Bantu Dengar yang menyimpan perasan keringat Ibu, menyimpan lelahnya Ibu berjalan kaki keliling kampung membeli hasil tani untuk dijual kembali ke pasar. Aku ngilu. Meminta maaf kepada Ibu. Tidak tega membayangkan lelahnya Ibu menggendong berkarung-karung cabe, jagung, jahe dan hasil tani lainnya sia-sia.
Ibuku nan bersahaja, nrima ing pandum, khas perempuan desa, hanya mengelus-elus rambutku. Memintaku untuk bersabar atas usaha yang entah keberapa, belum terlihat hasilnya.Â
 Laptop Ungu Impianku
"Buk, aku pengen tumbas laptop." ceritaku, pada suatu sore saat kami bercengkerama.
"Apa? Latop?" tanya Ibu. Aku menatapnya lekat-lekat, bukan kurang ajar, hanya beginilah caraku untuk memahami lawan bicara; membaca mulutnya.
"Bukan, Laptop." ujarku, dengan memperjelas di suku kata 'lap'.
"Oh, opo kuwi?"
Ya, Ibuku. Perempuan desa nan lugu, tidak tahu apa itu laptop. Ibu hanya sempat mengenyam kelas 2 SR. Jangankan piranti laptop dan gadget kekinian, hanya mengoperasikan hp jadul untuk membaca sms saja Ibu kesulitan.
"Itu Ibu, kayak komputer, tetapi bisa dijinjing-jinjing."
Ibu mengkerutkan keningnya, dengan bahasa Jawanya nan kental, Ibu mengutarakan keheranannya, "Apa ora kabotan?"
Apa tidak keberatan? Sangsinya. Aku tersenyum, garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Pira regane, Nduk?" tanya Ibu.
"Empat jutaan, Bu." Jawabku, sambil tertawa. Angka empat juta pada masa itu terhitung sangat berat. Seharga seekor sapi.
Aku tidak berharap lebih, hanya ingin bercerita kepada Ibu tentang satu barang impianku.
"Buat ngerjain tugas kuliah, Bu." Jawabku. Selama ini aku mengerjakan tugas kuliah dengan menyewa komputer warnet, atau kalau sedang rajin, aku ke perpustakaan untuk mengetik tugas-tugas disana.
"Belinya dimana?" Lanjut Ibu dengan bahasa Jawa.
"Di toko komputer Salatiga, Bu." Jawabku.
Hari-hari berjalan seperti biasa. AKu melupakan tentang urusan laptop impian, mnyibukkan diri dengan kegiatan perkuliahan. Tetiba, saat aku sedang berkumpul bersama sahabat saat SMA, mas Ipar berkirim kabar melalui sms.
"Nduk, lagi dimana? Tak tunggu di MJT Adabaru, ya."
Aku terdiam, bertanya-tanya, ada apa? Tanpa menunggu lama, aku berpamitan kepada teman-teman untuk segera pergi ke MJT.
Sampai di MJT, terlihat mas Ipar sedang berbincang dengan pramuniaga. Aku mengucapkan salam sembari menyalami tangannya.
"Nduk, ndang dipilih laptop e,kowe seneng sing endi?"
 Dengan tatapan tidak percaya, aku meminta penegasan lagi. "Beneran? Laptop buat siapa?"
"Kanggo kowe to, Nduk...."
Mataku mengembun, membuat kata-kata mas Ipar selanjutnya tidak terbaca dari mataku.
Setelah bertanya-tanya, melihat-lihat, aku jatuh cinta pada sebuah laptop berwarna ungu.
Aih, ini laptop impianku! Ya, aku penyuka warna ungu, mendapatkan laptop berwarna ungu membuat kebahagiaanku semakin berlipat-lipat. Aku meminta mas Ipar memesan laptop tersebut.Â
Laptop Ungu Salah Satu Hadiah Terindah dari Ibu Untukku
Sampai sekarang, aku tidak tahu persis darimana Ibu mendapatkan uang untuk membelikan laptob anak bungsunya yang berkebutuhan khusus. Pun, Ibu tidak tahu juga apa yang aku lakukan dengan memakai laptop itu. Jangankan dunia digital masa kini, untuk mengeja 'website, facebook' saja Ibu masih keliru.
Biasanya, jika aku sedang mendesain, membuat blog, membantu suami mengerjakan website, aku menggunakan kata-kata sederhana untuk menjelaskan kepada Ibu, seperti, "Menulis, Menggambar, SMS-an." Ya, bahkan Ibu tidak tahu kemana tulisan-tulisanku dikirim, apa yang dikerjakan oleh suami sebagai website developper, apatah lagi whatsapp, facebook, instagram dan media sosial lainnya.
Tetapi sungguh, dengan laptop pemberian Ibu ini lah aku bisa mengasah kemampuanku untuk menulis, memenangkan berbagai lomba menulis, membuat flyer, banner, poster, proposal pendukung proyek-proyek sosial. Menyelesaikan skripsi. Belajar sepuas yang kumau tanpa harus memusingkan pendengaran yang tidak sempurna. Juga menulis buku tentang Ibu, Mahkota untuk Emak.
Ibuku, Ibu yang hanya sempat mengenyam bangkuke;as 2 SR, Ibu yang tidak bisa mengetik SMS, memberikan hadiah kepadaku yang nilai kebermanfaatannya tidak bisa dinilai dengan uang. Memberikan hadiah yang tidak ia mengerti apa saja yang ada di dalamnya. Ibu hanya bermodalkan kepercayaan kepadaku saja, dan aku tidak ingin menyia-nyiakan kpercayaan itu.
Laptop Ungu yang menyimpan cinta Ibu sekaligus pahit getirnya perjuangan kuliah seorang anak penyandang Hard of Hearingkini telah berusia 6 tahun. Kurawat sepenuh cinta, kumanfaatkan sembari melangitkan doa-doa.
Â
Aku memilih untuk upgradeRAM daripada membeli laptop baru ketika aku membutuhkan kapasitas RAM lebih besar demi menginstall software penunjang untuk berkarya.
Laptop Ungu kesayangan, yang menemaniku berkarya dalam keterbatasan pendengaran. Semoga, apa-apa yang kukerjakan dengan laptop ini, pahalanya mengalir berlipat-lipat ke dalam catatan amalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H