Hukum potong tangan bagi pencuri dalam Islam merupakan salah satu bentuk hukuman hudud yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dan menjaga keamanan masyarakat. Ayat yang menjadi dasar hukum ini terdapat dalam Surah Al-Maidah (5:38). Namun, seiring perkembangan zaman, tafsir kontemporer mencoba memahami dan mengkontekstualisasikan hukuman ini dalam kerangka nilai-nilai modern, termasuk aspek kemanusiaan dan teknologi medis.
Adapun bunyi dari surah Al-Maidah (5:38) sebagai berikut:
وَا لسَّا رِقُ وَا لسَّا رِقَةُ فَا قْطَعُوْۤا اَيْدِيَهُمَا جَزَآءً بِۢمَا كَسَبَا نَـكَا لًا مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَا للّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan mereka sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Ayat ini secara jelas memberikan perintah untuk potong tangan bagi pelaku pencurian, namun tidak merinci bagian tangan mana yang harus dipotong atau bagaimana proses tersebut dilakukan. Para ulama kontemporer menekankan bahwa tujuan utama dari hukuman hudud, termasuk potong tangan, adalah untuk menjaga keamanan dan keadilan dalam masyarakat serta memberikan efek jera. Oleh karena itu, interpretasi modern berusaha memahami esensi dari keadilan ini dan mencari cara penerapan yang lebih manusiawi.
Mayoritas ulama klasik dan kontemporer sepakat bahwa potong tangan dilakukan pada pergelangan tangan. Pendapat ini didasarkan pada hadits dan praktik pada masa Nabi Muhammad SAW. Namun, dalam tafsir kontemporer, ada juga pembahasan mengenai alternatif hukuman yang lebih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan perkembangan teknologi medis.
Hukuman potong tangan tidak diterapkan sembarangan. Ada syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi, seperti nilai barang yang dicuri harus mencapai nisab tertentu, barang tersebut harus dalam keadaan terjaga, dan pencurian harus terbukti dengan jelas tanpa adanya keraguan.
Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam kontemporer yang terkenal dengan pendekatan "Double Movement" atau gerakan ganda, menawarkan cara pandang yang lebih dinamis dan kontekstual dalam menafsirkan hukum potong tangan. Fazlur Rahman menganjurkan pendekatan dua tahap dalam memahami dan menerapkan hukum Islam.
Tahap pertama adalah memahami konteks historis dan sosial saat wahyu diturunkan. Tahap kedua adalah menafsirkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam wahyu tersebut untuk diterapkan dalam konteks modern. Dalam kasus hukum potong tangan, ini berarti memahami bahwa hukum tersebut bertujuan untuk menegakkan keadilan dan memberikan efek jera dalam konteks masyarakat Arab pada masa itu.
Rahman berpendapat bahwa esensi dari hukuman potong tangan adalah menegakkan keadilan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Namun, cara penerapan hukuman ini harus disesuaikan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan perkembangan sosial serta hukum modern. Rahman mendorong umat Islam untuk menggali makna substantif dari ajaran-ajaran Al-Quran dan menerapkannya dengan mempertimbangkan perubahan zaman dan konteks sosial yang berbeda.
Rahman juga mendorong reformasi dalam hukum Islam, termasuk hukum pidana, agar lebih selaras dengan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Ia mengajak umat Islam untuk tidak hanya berpegang pada bentuk literal dari teks-teks agama, tetapi juga memahami tujuan dan semangat di balik hukum-hukum tersebut, dan menyesuaikannya dengan kebutuhan zaman sekarang.
Implementasi Modern: Operasi Medis dan Alternatif Hukuman
Dalam konteks modern, banyak ulama dan sarjana Muslim mempertimbangkan bagaimana hukuman potong tangan dapat diterapkan dengan lebih manusiawi, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi medis. Berikut adalah beberapa perspektif kontemporer:
1. Operasi Medis
Dengan adanya perkembangan dalam bidang medis, beberapa ulama dan ahli hukum Islam mengusulkan bahwa jika hukuman potong tangan harus dilaksanakan, prosedur tersebut sebaiknya dilakukan melalui operasi medis yang aman dan higienis untuk menghindari infeksi dan komplikasi kesehatan lainnya. Pendekatan ini dianggap lebih manusiawi dibandingkan dengan metode tradisional.
2. Alternatif Hukuman
Ada pandangan kontemporer yang mendorong untuk mengganti hukuman potong tangan dengan hukuman lain yang tetap memberikan efek jera namun lebih sesuai dengan prinsip kemanusiaan. Misalnya, penjara dengan program rehabilitasi atau denda yang berat. Tujuan utamanya adalah tetap menjaga keamanan dan keadilan, namun dengan cara yang lebih beradab dan memperhatikan hak asasi manusia.
3. Penangguhan dan Rehabilitasi
Beberapa sarjana kontemporer juga mengusulkan penangguhan hukuman hudud dengan memberikan kesempatan rehabilitasi bagi pelaku. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kedua kepada pelaku untuk memperbaiki diri dan kembali ke masyarakat sebagai individu yang lebih baik.
Kesimpulan
Hukum potong tangan dalam Islam memiliki dasar yang jelas dalam Al-Quran dan diperkuat oleh hadits Nabi Muhammad SAW. Tafsir kontemporer berusaha memahami esensi dari hukuman ini dalam kerangka nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan perkembangan zaman. Dengan pendekatan "Double Movement" Fazlur Rahman, umat Islam diajak untuk memahami tujuan dan prinsip dasar dari hukum ini, dan menerapkannya secara kontekstual dalam kehidupan modern.
Pendekatan ini mencakup kemungkinan pelaksanaan hukuman melalui prosedur medis yang aman atau menggantinya dengan hukuman alternatif yang lebih manusiawi, mencerminkan upaya berkelanjutan untuk menyesuaikan penerapan hukum syariah dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia yang berkembang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI