Bulan lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu kerabat di Jogja. Rumahnya berada di suatu pedusunan yang dikelilingi oleh area persawahan yang luas.Â
Para petani paruh baya hilir mudik dengan sepeda onthel, lengkap dengan caping di kepalanya. Semilir angin pedesaan dapat menyejukkan hari dan pikiran.Â
Namun, ada suatu ganjalan dalam benak saya. Dua puluh tahun lagi, ketika para petani itu sudah terlalu tua untuk mengurus sawahnya, siapa yang akan menggantikan mereka?
Calon penerus mereka adalah generasi muda yang kita kenal dengan sebutan generasi milenial dan generasi Z. Generasi yang sangat akrab dengan layar gawai dan drama korea.Â
Sudikah mereka mengotori kakinya dengan lumpur sawah? Maukah mereka mengendarai sepeda onthel? Banggakah dengan profesi sebagai petani di kartu nama mereka?
Sejenak kita kembali ke rumah kerabat saya, sebuah dusun di kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Tinggal di desa petani, pekerjaan kerabat saya adalah bertani. Ia mengerjakan sebidang sawah yang juga miliknya.Â
Hasil dari kegiatan bertaninya adalah berkarung-karung beras. Sebagian ia jual, sebagian lagi disimpan untuk dikonsumsi keluarga. Ia memiliki dua orang anak. Tebak adakah di antara mereka yang menjadi petani mengikuti jejak orangtuanya? jawaban Anda benar, tidak ada.
Anak perempuannya sudah menikah dan kini ikut dengan suaminya di Jakarta. Anak lelakinya, setelah menganyam pengalaman bekerja di pedalaman hutan Kalimantan, ia memutuskan untuk menjadi pengusaha. Ia adalah kontraktor, yang saat ini masih berskala kecil.Â
Model bisnisnya adalah dengan membeli sebidang tanah, dibangun sebuah rumah dan kemudian dijual. Menjadi seorang petani tidak terlintas di dalam benaknya.
Suatu pagi, saya meluangkan waktu untuk berjalan santai mengelilingi area persawahan. Pemandangan yang saya temui sungguh luar biasa. Berpuluh-puluh petak sawah yang kuning menghijau berjajar rapi.Â