Lalu branding Gus AMI sebagai Jenderal Santri, termasuk juga bagaimana upaya PKB "menguasai" dan seolah menjadi satu-satunya representasi politik orang-orang NU.
Beberapa postingannya di berbagai platform medsos mulai dipenuhi dengan kerja-kerjanya, hasil survei internal.
Ide-idenya termasuk soal Nobel Perdamaian, gelar-gelar serta kehormatan yang disematkan kepadanya dan tentu saja deklarasi dari beberapa komponen atau kelompok yang menginginkannya menjadi Presiden.
Semuanya sah-sah saja. Memang begitulah seharusnya.
Sampai sejauh ini, di tataran internal PKB tidak ada yang mampu "berisik" terkait Gus AMI. Termasuk juga tidak ada orang-orang di luar partai yang merayu tokoh-tokoh PKB sehingga muncul matahari-matahari di tempat lain.Â
Gus AMI juga berhasil membuat PKB steril dan "bersih" dari pihak-pihak internal yang berpotensi merusak suasana, lebih-lebih yang berpotensi melahirkan dualisme atau sebagainya sebagaimana terjadi di beberapa partai.
Ini harus kita akui sebagai sebuah keberhasilan. Kemampuannya menjadi penguasa PKB, yang oleh banyak kalangan disebut sebagai "kudeta", menjadikan Gus AMI sebagai pembelajar yang baik agar hal itu tidak terjadi lagi.Â
Memang benar seperti rumus yang diyakini banyak kalangan bahwa, otoritarianisme seorang pemimpin diperlukan dalam memimpin partai.
Apakah pemberitaan dan memainkan trending-trending di medsos itu penting? Tentu saja iya. Meski hasilnya kurang signifikan yang penting terus saja menjual.Â
Minimal untuk menunjukkan kekuatan dan komando medsos partai, memberitahukan informasi terbaru tentang Gus AMI yang sebenarnya, atau setidaknya tersedia informasi yang cukup sebagai alasan bagi pendukungnya untuk konsisten mendukung Gus AMI.
Apakah hal itu akan berpengaruh? Inilah sebenarnya pertanyaan yang harus dijawab oleh orang-orang PKB terutama sejauh mana acceptance masyarakat terhadapnya, termasuk dalam mendongkrak elektabilitasnya sebagai Capres 2024.Â