Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Barcelona, dari Muter-muter, "La Masial", dan Menumpuk Utang

3 November 2019   14:03 Diperbarui: 4 November 2019   00:05 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lionel Messi membayang-bayangi Jose Campana pada pertandingan Levante vs Barcelona dalam lanjutan La Liga Spanyol di Ciutat de Valencia, 2 Oktober 2019. (sumber: AFP/JOSE JORDAN via kompas.com)

Musim ini menjadi musim yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk Barcelona meski kalah di laga pembuka La Liga Santander 2019 - 2020 melawan Atletic Bilbao pada, 17 Agustus lalu. 

Terlebih, sampai saat ini Barca masih bertengger di peringkat teratas dengan perolehan poin yang sama hanya menang selisih gol dengan musuh bebuyutannya, Real Madrid.

Tapi, tentu saja bukan perkara mudah juga karena sudah tiga (3) kali Barca menelan kekalahan. Selain kalah secara dramatis melawan Bilbao, Barca juga dipecundangi oleh Granada dengan skor 2 - 0, dan terakhir, Levante berhasil mencukur Barca dengan skor 3 - 1 setelah unggul terlebih dahulu melalui sepakan penalti Messi.

Meskipun begitu, Barca tetaplah Barca, yang menjadi salah satu (atau mungkin satu-satunya) tim yang tak pernah kalah dalam hal penguasaan bola. Bahkan ketika kalah sekalipun.

Barca selalu menorehkan catatan ball possession yang menakjubkan dan hampir selalu berhasil membuat lawannya seperti kucing kelaparan yang mengejar ikan kesana-kemari.

Saat dipecundangi Bilbao, Barca menguasai bola sebanyak 72% berbanding 28%. Catatan itu semakin mencengangkan ketika kalah melawan Granada tapi penguasaan bolanya mencapai 74% berbanding 26%.

Sementara saat melawan Levante, Barca menguasai bola sebanyak 70% berbanding 30% namun dipecundangi dengan skor cukup telak, 3 - 1. Penguasaan bola terkecil Barca terjadi ketika menang melawan Villareal dengan 55% berbanding 45%.

Jika dirata-rata dari semua pertandingan yang telah dijalani Barca selama musim ini di La Liga, Barca menjadi tim dengan penguasaan bola tertinggi, yaitu 65,5%.

Jauh sekali jika dibandingkan dengan Real Madrid yang hanya mendapatkan penguasaan bola sebesar 56,1%, dengan persentase penguasaan terbesarnya adalah ketika imbang melawan Valladoid, yaitu 67% berbanding 33%.

Dengan catatan itu, meski tak terlalu buruk, Barca seperti mengalami sebuah metamorfosa: dari gaya bermain tiki-taka menuju gaya bermain muter-muter.

Penguasaan bola dari kaki ke kaki dengan pemain yang menyebar se-antero lapangan tak lagi "diciptakan" untuk kemenangan, melainkan hanya untuk bermain muter-muter saja. Mengukuhkan soal seni dan keindahan dalam sepak bola.

Messi dan Suarez tak lagi sangar dan garang. Dengan koleksi 5 goal plus penalti, Messi sepertinya sudah menuju titik terendah kualitas permainannya, faktor usia.

Suarez pun mulai merasa, dan sempat mewasiatkan nama tertentu yang pantas menjadi penggantinya. Ousman Dembele sebenarnya bermain cukup bagus.

Termasuk juga Griezmann, sosok pemain mahal yang didatangkan dengan harapan tidak mengulangi nasib Coutinho, juga bermain cukup baik meski belum menemukan ritme permainan yang pas. 

Fox Sport Indonesia
Fox Sport Indonesia
Ansu Fati justru menjadi bintang muda baru yang banyak dipuja, meski musim depan, konon, ia siap untuk dijual. Arthur, Busquet, dan tentu saja Rakitic masih bisa tampil apik.

Di barisan belakang, Pique tetap menjadi jenderal yang sulit ditembus. Jordi Alba kerap menjadi kunci. Sergi Roberto dan Nelson Semedo yang tetap tangguh serta semakin padunya Lenglet membuat lini belakang Barca cukup modal untuk menghadang serangan lawan.

Masalahnya tak selesai disitu karena Barca lebih cenderung menjadi tim dengan permainan gaya muter seperti ibu-ibu saat belanja di pasar atau di swalayan tapi hanya menghasilkan sedikit belanjaan, bahkan mungkin juga keluar dengan tangan kosong.

Apakah ini karena barisan depan yang tak lagi menakutkan? Jika dilihat dari para pemainnya, sepertinya tidak begitu. Apakah karena ini juga Barca semakin ngotot untuk memulangkan Neymar?

Namun terlepas dari itu, gaya permainan tiki-taka sudah mulai menjemukan. Membosankan. Terlebih sudah banyak pelatih yang bisa mengantisipasinya. Sebagian yang lain bahkan mempergunakan tiki-taka dengan gaya yang lebih mengerikan. 

Kita lihat bagaimana Madrid pada periode sebelumnya juga tampil dari kaki ke kaki tapi dengan efektivitas yang lebih unggul, dan karena itu, Madrid menjadi Juara Liga Champions tiga kali berturut-turut! Tak mungkin terpecahkan oleh tim manapun, sepertinya.

Selain itu, Barcelona kini menjadi tim yang lebih pragmatis. Haus kemanangan dan piala. Hal ini wajar, terutama ketika melihat tim yang menjadi pesaingnya melakukan perombakan gila-gilaan.

Jika dulu ada La Masia yang kerap melahirkan pemain-pemain andalan, seperti Puyol, Iniesta, Xavi Hernandez, Valdes, Busquet, dan tentu saja Messi, kini La Masia hanya menjadi akademi yang "dipandang sebelah mata" oleh Barca.

Padahal La Masia yang dianggap sebagai akademi sepak bola terbaik di dunia memiliki jebolan-jebolan yang hebat. Bahkan beberapa jebolan La Masia, setelah tak dilirik Barca atau tak bisa menembus skuad utama, justru bersinar di klub lain.

Sebut saja seperti Icardi, Arteta, Reina, Hector Bellerin, Cesc Fabregas, Alcantara, Onana, Grimaldo, Dani Olmo. Empat nama terakhir, konon, akan dipulangkan oleh Barca. Takefusa Kubo bahkan menjadi milik Real Madrid dan saat ini sedang dipinjamkan.

La Masia berubah menjadi "La Masial" karena beberapa pemain yang sebenarnya memiliki potensi mengalami nasib sial. Tak dilirik, dilirik tapi tak berhasil menembus skuad utama, atau dilirik tapi lebih sering menghuni bangku cadangan.

Tapi sekali lagi sangat wajar dan realistis. Saat dunia sepak bola semakin masuk pada ranah industri, lalu tim lain juga melakukan upaya keras untuk membeli banyak pemain, maka mengandalkan pemain seperti Carles Perez, Carles Alena, atau Moussa Wague, bukanlah pilihan yang tepat. Memang.

Gilanya, untuk mendukung pragmatisme itu, Barcelona beberapa kali terlibat dalam transfer yang gila-gilaan namun hasilnya tak sesuai harapan.

Barca, pada akhirnya, jatuh pada pembelian sistem utang atau dengan pembayaran sistem kredit. Lucu, bukan? Barca semakin doyan membeli pemain mahal dan karena itu semakin menumpuk utang.

Menurut Fox Sport, yang dikutip Bola.net, Barca disebut memiliki utang sebesar 1,4 miliar USD atau setara dengan Rp20 triliun pasca mendatangkan Antoine Griezmann dengan nilai transfer sekitar 135 juta USD.

Selain Griezmann, Barca juga mendatangkan Frankie De Jong dengan nilai transfer mencapai 70 juta USD. Hutang itu dirinci menjadi utang jangka panjang sebesar 301 juta USD, dan utang jangka pendek sebesar 789 USD.

Selain itu, pembelian Coutinho juga belum tuntas karena Barca masih menyisakan utang. Karena tak bersinar, Coutinho dipinjamkan ke Bayern Munchen. Sampai sekarang Barca tetap memiliki utang ke Liverpool meski hanya tersisa 5 juta Euro saja, sisanya adalah utang ke pihak ketiga, yang entah mengapa tertulis utang terhadap Liverpool.

Finansial yang tidak sesehat klub, tentu menjadi indikasi yang kurang baik untuk Barca. Terutama karena banyaknya pengeluaran selain membeli pemain seperti perbaikan Camp Nou yang dianggarkan sebesar 960 juta USD.

Artinya, dengan utang menggunung seperti itu, masihkan Barca tetap memaksa untuk mendatangkan Neymar dengan transfer yang sudah pasti ajigile itu?

Gila lu, Ndro. Mau bangkrut? Atau perlu solusi dari Erick Tohir, Sandi, Chairul Tanjung, Tomy Winata, James Riyadi, dan mungkin Duo Hartono supaya bisa urun rembug dan mengakuisisi Barcelona? Boleh juga.

Terlepas dari itu, Barca sepertinya perlu belajar lagi soal efektivitas permainan sehingga tak perlu lagi menggunakan gaya muter-muter, memanfaatkan potensi La Masia secara sabar, serta tak terlalu banyak berutang hanya untuk membeli pemain mahal.

Barca mulai lupa pada proses, sebelum akhirnya mereka mendapatkan banyak piala dan juara ketika masih dipegang oleh Pep Guardiola. Tak siap melakukan regenerasi, lebih baik membeli pemain yang pasti-pasti. Bagaimana kalau Messi pergi atau berhenti?

Tapi masalahnya, para penggemarnya akan teriak-teriak menuntut juara, terutama Liga Champions, meski dari dalam gua.

Penampilan Barca sekarang, meski tak cukup baik, juga "tertolong" dengan penampilan tim lain, termasuk Madrid, yang juga tak terlalu baik. Real Madrid, pasca memenangi Liga Champions tiga kali berturut-turut dan akan sulit memecahkan rekor gila seperti itu, memang menurun drastis. Fans Madrid memang seringkali greget, meski tak se-greget fans MU, tapi mereka mengerti dan menyukai Madrid yang ada saat ini.

Madrid lebih tampil "seadanya", tanpa pasokan pemain-pemain mega bintang. Hanya ada Hazard sebagai pembelian termahalnya. Tentu berisiko kalah, tapi fans Madrid senang dengan pemain-pemain hebat meski tanpa nama besar.

Memang bukan jebolan sekolah sepak bola Madrid, tapi dengan pembelian murah, mereka bergerak menuju bintang. Sebut saja seperti Asensio, Vasquez, Casemiro, Valverde, Rodrygo, Vinicius, Odriozola, dan nama-nama lainnya yang relatif "bernyawa" panjang.

Real Madrid tak lagi doyan membeli pemain dengan nama besar dan nilai transfer yang gila-gilaan. Apakah Barcelona akan merampas gelar Los Galacticos dari Real Madrid? Untuk kepentingan juara dan nama besar di Eropa, mungkin saja.

Satu catatan lagi sebelum tulisan ini diakhiri, bahwa Barcelona terlalu bergantung kepada sosok Messi. Kebergantungan itu, pada titik tertentu, membuat Barca takut pada Messi sehingga ia menjadi pemain yang selalu diistimewakan dan dimanjakan.

Barcelona paling tidak bisa ketika melihat Messi ngambek apalagi merajuk. Memang besar jasa Messi untuk Barcelona, tapi arogansinya dalam klub melebihi seorang pelatih yang bisa menentukan siapa pemain yang disukai dan tidak disukai atau siapa saja pemain yang berhak dan tidak berhak dibeli.

Messi kerap kali tersinggung jika Barca membeli pemain yang tak disukainya. Ia juga marah kepada Guardiola ketika menelpon Neymar dan membicarakan transfer. Padahal ia masih menjadi pemain aktif: sebuah karakter buruk yang harus dibuang ketika nanti ia memilih untuk menjadi pelatih, misalnya.

Lihat saja bagaimana respon Messi terhadap Kevin Boateng atau bagaimana Messi "menghina" Ibrahimovich yang akhirnya menyingkir dari Barcelona. Konon, Messi mengirimkan SMS pada Guardiola yang memintanya untuk mengusir Ibra. Ngeri kaaaliii.

Salam. HalaMadrid
Mustafa Afif
Kuli Besi Tua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun