Politik nasional sedikit reda ketika partai koalisi KMP, pengusung Prabowo-Hatta, merapat ke koalisi KIH, pengusung Jokowi-JK.Â
Namun secara kepartaian, PDI-P dan Gerindra tetap konsisten dalam perseteruan, terutama semakin menjadi ketika Pilkada 2017 yang semakin menegasikan dan "perang" antara cebong vs kampret semakin menjadi-jadi.Â
Gerindra yang mengusung Anies-Sandi berhasil mengalahkan Ahok-Djarot yang didukung oleh koalisi PDI-P.
Kemenangan itu seakan menjadi "semangat" baru, dan bagi sebagian pihak seperti ajang "balas dendam" meski tak bisa dituntaskan sebab pada pertarungan Pilpres 2019 yang baru saja selesai, Prabowo-Sandi berhasil kembali dilumpuhkan oleh Jokowi-Ma'ruf.Â
Tensi panas masih terjadi, namun sedikit reda ketika Prabowo secara jantan menemui Jokowi, dan beberapa waktu setelahnya, Prabowo juga bertemu dengan Megawati melalui konsolidasi "nasi goreng" dan "bakwan".
Selanjutnya, tensi keduanya menjadi semakin cair. Keduanya, tentu bersama partai dan semua pendukungnya, barangkali sadar akan kepentingan yang lebih besar karena keduanya menjadi "penentu" dari konstalasi perpolitikan nasional. Orang-orang partai yang sebelumnya saling serang tampak lebih jinak dan diam.Â
Rakyat pun melihatnya secara tulus sebagai "keakraban lama bersemi kembali", meski pada titik tertentu, Prabowo kemudian menganggung cacian dan hinaan, bahkan dari pihak atau kelompok yang sebelumnya menjadi pendukung militannya.
Terakhir, komunikasi Megawati-Prabowo terjadi untuk memastikan soal dukungan terkait kursi Ketua MPR. Partai Gerindra yang sebelumnya ngotot untuk mencalonkan Ahmad Muzani sebagai Ketua MPR melakukan konsolidasi partai melalui komunikasi Prabowo dengan Megawati di detik-detik terakhir untuk meminta dukungan.
Berdasarkan cerita dari Ahmad Muzani, Megawati sebenarnya merasa sulit untuk menolak permintaan Prabowo, tapi ia terus terang, bahwa tak mudah untuk kembali lagi ke proses awal.Â
Artinya, diksi "sulit untuk menolak" mengindikasikan adanya attachment yang tak bisa dinafikan, mungkin saja untuk menjaga hubungan dan merawat kesepakatan untuk kepentingan yang lebih besar. Bisa dalam waktu dekat, atau mungkin agenda-agenda politik kebangsaan selanjutnya.
Tulisan ini tidak untuk mengunggulkan yang satu dibandingkan yang lainnya. Hanya, dalam banyak konstalasi perpolitikan nasional, Prabowo sering luluh ketika berhadapan dengan Megawati.Â