Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Prabowo yang Sering "Luluh" terhadap Megawati

5 Oktober 2019   08:49 Diperbarui: 7 Oktober 2019   08:51 2326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto berpamitan kepada kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri usai keduanya bertemu selama kurang lebih dua jam di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakpus, Rabu (24/7/2019). | Rizal Bomantama/Tribunnews.com

Hubungan Megawati-Prabowo, dua tokoh yang sama-sama menjadi patron di partai masing-masing, kerap mengalami pasang surut. Hubungan keduanya selalu menjadi sorotan karena seringkali menjadi titik penentu pergolakan perpolitikan, terlebih di tingkat nasional. 

Pernah sangat dekat, menjauh dan saling menegasikan, lalu akhir-akhir ini menunjukkan ritme yang semakin cair dan akrab.

Hubungan panas dingin itu berbeda dengan selalu memanasnya hubungan Megawati-SBY. Rakyat melihat hubungan keduanya hampir selalu pasang. Berbagai upaya dari beberapa pihak telah dilakukan namun sepertinya memang perlu "takdir" untuk mendamaikan keduanya. 

Beberapa kali bertemu dalam momen tertentu, bersalaman, duduk berdekatan, tapi asumsi rakyat selalu hambar. Seperti ada yang mengganjal. Terutama diperkuat dengan kebijakan partai yang jarang bertemu dalam satu titik yang padu.

Sementara hubungan Megawati-Prabowo relatif dinamis. Merunut sejarahnya, Megawati-Prabowo pernah sangat dekat ketika keduanya menjadi pasangan Capres-Cawapres tahun 2009 untuk mengalahkan SBY, petahana yang berpasangan dengan Boediono. 

Keduanya kemudian membuat "Perjanjian Batu Tulis", yang pada akhirnya justru menjadi awal mula perselisihan keduanya, termasuk PDI-P-Gerindra dan para pendukungnya.

Meski kemudian kalah, tapi konsolidasi dan kedekatan itu mampu dirawat dengan baik sehingga berlanjut pada koalisi Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 yang mengusung Jokowi-Ahok. Pasangan itu dapat menumbangkan Fauzi Bowo, petahana, yang dianggap sulit untuk dikalahkan. 

Kemenangan itu membuat Jokowi dan Ahok bersinar, begitu juga dengan partai pengusungnya. PDI-P semakin mendapatkan tempat, sementara Gerindra menjadi partai yang semakin mentereng dan diperhitungkan, meski relatif baru didirikan.

Pada tahun 2014, perselisihan itu dimulai. Jokowi yang semakin moncer, dicalonkan oleh PDI-P untuk menjadi Capres. PDI-P yang menjadi partai pemenang Pemilu 2014, merelakan posisi itu kepada Jokowi meski sebenarnya Megawati juga memiliki peluang besar. 

Sejak saat itu, PDI-P dituduh mengkhianati perjanjian dan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya sementara PDI-P tetap kukuh, bahwa mereka tak pernah mengkhianati apapun karena konteksnya ketika itu adalah "kalau menang".

Semakin sengit ketika Jokowi-JK, pasangan yang didukung oleh PDI-P dan koalisinya menjadi pemenang dan menyebabkan suasana politik nasional semakin menghebohkan, terutama di arus bawah, yang berhasil menciptakan dikotomi, dualisme, dan kubu-kubuan: cebong-kampret yang, pada titik tertentu, sama-sama "radikal" dan loyal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun