Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anggota Dewan, Apa Susahnya Sekadar Pura-pura Rajin di Awal Bekerja?

4 Oktober 2019   10:51 Diperbarui: 4 Oktober 2019   11:36 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat pelantikan anggota dewan terpilih periode 2019 - 2014 kemarin, saya dan mungkin segenap rakyatnya Indonesia lainnya berharap, berdoa, memohon, atau mungkin berandai-andai satu hal: "semoga setiap sidang selalu penuh seperti pelantikan", atau "andai setiap sidang selalu sesak seperti saat pelantikan". Minimalnya, gak kosong-kosong amet seperti yang lalu-lalu.

Enak rasanya melihat mereka duduk rapi dengan pakaian "hampir serupa" memenuhi kursi-kursi yang disediakan. Adem dan nyaman melihat para dewan yang terhormat itu merepresentasikan rasa hormat mereka itu pada rakyat yang memilihnya. 

Foto-foto yang beredar tak lagi hambar karena sulit menemukan ruang kosong. Mau diambil dari atas-bawah, dari samping kiri-kanan, atau bahkan dari ujung Monas sekalipun, pasti hasilnya memuaskan karena suasana yang penuh sesak dengan wajah-wajah penuh senyum.

Tentu ada peristiwa "aneh" disana, terutama viralnya salah seorang anggota dewan yang tidur saat pelantikan, rebutan selfie dengan Presiden. Tapi itu hanya sebagian kecil peristiwa yang tak merusak "keindahan" suasana pelantikan, yang sesaat memberikan harapan. "Euforia" sementara sebagaimana bisa dirasakan setiap periode-nya.

Namun sayang seribu sayang. Segala doa, harapan, dan pengandaian itu telah dirusak oleh fakta menyedihkan, bahwa saat hari pertama bekerja dengan agenda pelantikan Pimpinan DPR serta Sidang Paripurna MPR, ada banyak anggota dewan yang baru kemarin dilantik itu bolos bekerja: di hari pertama yang harusnya penuh suka cita, semangat yang tinggi, seta optimisme yang purna.

Dari 575 anggota DPR RI yang dilantik, hanya sekitar 285 orang yang hadir dan mengisi absensi sementara 290 orang lainnya bolos. Sementara itu, catatan kehadiran tiap fraksi adalah, PDIP hadir 94 dari 128 anggota, Golkar hadir 31 dari 85 anggota, Gerindra hadir 46 dari 78 anggota, NasDem hadir 27 dari 59 anggota. 

Selanjutnya, PKB hadir 15 dari 58 anggota, Demokrat hadir 4 dari 54 anggota, PKS hadir 25 dari 50 anggota, PAN hadir 7 dari 44 anggota, dan PPP hadir 16 dari 19 anggota. (detik.com)

Kenyataan ini tentu saja menyedihkan. Meski memenuhi kuorum secara fraksi, tapi sejatinya, 285 anggota yang hadir itu tidak memenuhi kuorum kehadiran anggota DPR. 

Puan Maharani yang sebelumnya memberikan statement untuk mendisiplinkan anggota DPR, mendapatkan ujian pertamanya ketika dihadapkan pada kemalasan-kemalasan yang terus terulang.

Bagi Puan Maharani, yang telah memiliki pengalaman menjadi anggota DPR, pemandangan itu bukanlah hal yang aneh karena sudah menjadi semacam kebiasaan yang membudaya. Tapi memberikan kesan menyedihkan dan mengecewakan di hari pertama bekerja, tentu bukanlah isyarat yang baik untuk membangun optimisme perubahan. 

Kita tunggu, apakah statement Puan Maharani untuk mencari formulasi yang tepat terkait mendorong kehadiran anggota DPR akan manjur, termasuk melalui komitmen dengan Ketua Fraksi masing-masing partai.

Kenyataan malas di hari pertama ini semakin pahit ketika sebanyak 335 dari total 711 anggota DPR dan DPD, yang mungkin belum sempat merasakan toilet ruang kerjanya itu, dikabarkan tidak hadir pada sidang paripurna MPR. 

Tapi kemudian cukup menggembirakan ketika pada pemilihan Pimpinan MPR, rapat paripurna dihadiri 647 anggota. Hanya 64 anggota yang tak ada kabarnya. Perubahan yang kilat sekaligus mengonfirmasi kebisaan mereka untuk hadir. Lalu kemana sebelumnya?

Kita juga paham, bahwa sidang paripurna itu adalah serangkaian proses panjang dari rapat-rapat sebelumnya yang bersifat simbolik. Tapi menunjukkan kesemangatan dan membangun optimisme di hari-hari pertama menjadi anggota dewan itu sangat penting untuk menunjukkan keseriusan sekaligus memberikan first impression yang meyakinkan bagi masyarakat. 

Kalau di awal-awal sudah mengecewakan rakyat, lalu bagaimana sepanjang lima (5) tahun ke depan? Rakyat tentu berharap akan ada perubahan yang radikal dalam konteks ini, tapi melihat kenyataan yang ada, kok, rasanya tak akan jauh berbeda dengan yang lalu?

Rakyat awam seperti saya, lalu berpikir begitu sulitkah untuk menghadiri sidang paripurna? Kita tentu paham dengan posisi dan kerja anggota dewan yang mengharuskannya turun lapangan untuk mengunjungi para konstituen, tapi ini, kan, masih hari pertama bekerja? 

Jika memang ada kesibukan, sesibuk apakah mereka yang bolos itu hingga tak menghadiri paripurna di hari pertama atau konstituen mana yang di hari pertama setelah dilantik meminta pertemuan hingga mengharuskan mereka bolos bekerja?

Rakyat pasti paham jika alasannya memang benar-benar bersifat urgen dan mendesak, tapi alasan apa yang mengharuskan mereka tak hadir rapat? Ngantuk? Nemenin keluarga dan anak? Mules atau males? Kalau memang alasannya bukanlah sesuatu yang urgen, tak bisakah pura-pura semangat di awal bekerja? 

Tentu kita tak suka ketidak-jujuran tapi apa susahnya pura-pura rajin di awal-awal menjadi anggota dewan? Jelas ini tak baik untuk pembelajaran, tapi setidaknya sedikit mengurangi keraguan. Minimal, nyeseknya tidak dari awal.

Wajar saat banyak pihak meradang dan menyuarakan pesimisme ketika di awal disajikan pemandangan suram. Harus ada sanksi yang diberikan, setidaknya sanksi sosial sebagaimana pandangan Kuskrido. 

Tinggal diupload saja nama-nama dewan yang suka bolos saat sidang dan biarkan rakyat atau konstituen yang menyidang mereka, di dunia nyata maupun di dunia maya. Sebab, susah untuk menghormati mereka yang terhormat ketika mereka tidak menghormati amanah yang diberikan rakyat.

Tentu kita semua berharap para anggota dewan bisa menjaga kehormatannya dengan bekerja, menyerap aspirasi dengan baik, menghasilkan perundang-undangan yang substantif dan produktif, mengembalikan kepercayaan rakyat yang mulai pupus, dan tak ada lagi yang terjerat dalam kasus-kasus koruptif. Semoga ini hanya awal yang buruk, menuju akhir yang baik.

Untunglah, kata Puan Maharani DPR bukan lembaga anti-kritik. Jadi, tulisan ini bisa masuk dalam konteks memberikan kritik itu. Kalau pun tidak mempan, rakyat barangkali cukup berguman, "entah apa yang merasukimu". Pelan.

Salam,

Mustafa Afif

Kuli Besi Tua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun