Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Puan Maharani Menjadi Ketua DPR RI, Pelaksanaan "Sejarah yang Tertunda"

2 Oktober 2019   15:32 Diperbarui: 3 Oktober 2019   04:34 1969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antara Foto/M Risyal Hidayat

"... itu "Jatah" Puan Maharani Periode Sebelumnya. Tak Perlu Kaget!" demikian kata sebagian orang.

Netizen gaduh ketika nama Puan Maharani muncul sebagai Ketua DPR RI. Kegaduhan ini, selain karena bersamaan dengan momentum pelantikan, juga tak bisa dilepaskan dari sorotan rakyat terhadap DPR RI periode sebelumnya yang telah mengesahkan RUU KPK sehingga menciptakan gelombang arus demonstrasi mahasiswa dan pelajar dimana-mana, dengan intensitas "mengerikan" di beberapa titik peristiwa.

Saat DPR sedang menjadi sorotan lalu masih terjadinya demo besar-besaran menjelang pelantikan, munculnya nama Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI dianggap tidak masuk akal dan tidak proporsional, terutama oleh netizen yang kerap kali menjadi maha benar. 

Tidak aneh ketika Puan Maharani sempat menjadi trending topic di twitter, yang sebagiannya berisi apresiasi, dukungan, dan ucapan selamat sementara sebagiannya bernada minor, underestimated, meragukan, nyinyir dan mempertanyakan.

Padahal, sebenarnya tak perlu ada yang kaget ketika Puan Maharani, pada akhirnya, dilantik sebagai Ketua DPR RI 2019-2024, sebab selain informasi itu sudah lama terdengar, keterpilihan Puan Maharani menjadi Ketua DPR RI mestinya sudah terjadi pada periode sebelumnya, 2014-2019.

Artinya, ketika itu terjadi sekarang, tak ada yang istimewa. Biasa saja. Hanya pelaksanaan dari "sejarah yang tertunda" saja.

Seperti kita tahu, bahwa pada periode sebelumnya, 2014-2019, terjadi pertarungan hebat di DPR antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pengusung Jokowi-JK versus Koalisi Merah Putih (KMP) pengusung Prabowo-Hatta.

KMP yang babak belur di eksekutif karena Jokowi-JK menjadi pemenang dibuat babak belur sebanyak 2 kali oleh KMP di legislatif dengan memenangi UU Pilkada (yang akhirnya membuat SBY turun tangan) dan UU MD3.

Undang-undang MD3 itulah yang kemudian membuat pemilihan Pimpinan DPR RI diajukan melalui sistem paket, bukan lagi melalui sistem proporsional. Posisi ketua tak lagi secara otomatis "diberikan" kepada partai pemenang.

Jelas, PDI-P sebagai partai pemenang ketika itu meradang. Puan Maharani sebagai Ketua Fraksi PDI-P, melakukan lobi-lobi politik, termasuk upaya menemui SBY yang mentok karena tak ada respons. PDI-P dan koalisinya, akhirnya memilih walk out dan tak bertanggung jawab terhadap hasil paripurna.

Butuh waktu sekitar dua bulan lebih untuk mendamaikan kedua kubu melalui revisi kedua atas UU MD3. Pada akhirnya, justru beberapa partai pendukung KMP berhasil dirayu dan menyebrang ke koalisi KIH; tentu dengan kompensasi jabatan-jabatan sekelas Menteri.

Pat-gulipat serta manuver politik di Gedung DPR RI ketika itu menjadi tontonan menarik, pada satu sisi, sekaligus menjemukan, pada sisi lainnya.

Tapi sekiranya tak ada perubahan aturan dalam memperebutkan pimpinan DPR dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) ketika itu, nama Puan Maharani telah digadang-gadang untuk menduduki Ketua DPR. Selain karena pengalamannya melakukan lobi-lobi politik sebagai Ketua Fraksi, Puan Maharani adalah penerus trah Soekarno melalui Megawati.

Maka, keterpilihan Puan Maharani sebagai perempuan pertama dalam sejarah bangsa ini yang menjabat Ketua DPR RI, sejatinya adalah "penundaan sejarah" karena mestinya itu sudah terjadi sejak lima (5) tahun yang lalu. Artinya, tak perlu kekagetan yang sedemikian rupa. Biasa saja.

Kenapa harus Puan Majarani? Pertanyaan ini yang sebenarnya menjadi perbincangan masyarakat, terutama di dunia medsos mengingat Puan Maharani dianggap sebagai sosok yang kurang tepat karena profilnya "gak bagus-bagus amet" dan tak memiliki cukup prestasi yang bisa dibanggakan. 

Tentu, kita bisa berdebat soal ini. Entah melalui asas rasionalisasi, objektivitas, maupun atas dasar like or dislike. Toh, kalau mau dibandingkan dengan periode sebelumnya, posisi Ketua DPR juga diduduki oleh sosok yang juga "gak bagus-bagus amet". Khusus Setya Novanto justru tampak "mengerikan".

Tapi, wajar saja menurut saya ketika Puan Maharani akhirnya dipilih untuk menduduki pos Ketua DPR RI melalui PDI-P, terutama karena beberapa alasan:

Pertama, soal posisi dan kekuatan Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P yang tetap kokoh tak tergoyahkan. Megawati tetap menjadi tokoh sentral dimana hampir semua anggota partai benar-benar mematuhinya. Tak ada gelombang penentang, dan PDI-P selalu terlihat kompak. Patronase Megawati jelas tak bisa dilawan.

Megawati, tentu saja memiliki kepentingan untuk melanjutkan trah Soekarno dan Puan Maharani adalah pilihan yang tepat. Kita bisa berdebat, bahwa itu adalah bagian dari oligarki politik, prinsip kedekatan dan jaringan, tapi satu hal yang tak bisa didapatkan oleh banyak orang dan itu dimiliki oleh Puan Maharani, yaitu "takdir sejarah" sebagai cucu Soekarno dan putri Megawati. 

Itulah "kemewahan" yang didapatkan secara otomatis sebagaimana putera atau puteri lain dari tokoh yang lainnya juga. Benar ada yang jauh lebih hebat, tapi sebagian orang masih menjadikan pertimbangan sejarah sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah penilaian.

Kedua, sosok Puan Maharani pun adalah sosok yang relatif diterima oleh sebagian besar kader serta elit-elit PDI-P karena melihatnya memiliki kemampuan dalam bidang politik.

Ia memiliki pengalaman dan "jam terbang" yang tinggi. Tak mungkin setara Megawati, tentu saja, tapi Puan Maharani memiliki pengalaman yang cukup dalam politik, termasuk bagaimana menghadapi "gemuruh" yang panas melalui "meja lobi".

Sehingga, selain karena pertimbangan sebagai puteri Megawati, Puan Maharani juga telah mengalami proses serta pembelajaran politik yang cukup panjang; sejak kerap kali mendampingi Ibunya waktu masih menjadi Presiden, menjadi anggota DPR RI, Ketua Fraksi PDI-P di DPR RI, Ketua Pemenangan Jokowi-JK, dan Menko PMK.

Pengalaman tersebut menjadi pendidikan politik yang baik untuk mencukupkan banyak kader dan elit partai menerima keberadaannya, termasuk hubungannya yang relatif baik dengan semua partai, terutama ketika menjadi Ketua Fraksi dulu.

Lagi-lagi, kita bisa berdebat soal apa yang telah dilakukan oleh Puan Maharani dan apa prestasinya. Ketika menduduki posisi sebagai menteri pun, Puan Maharani tak tampak kerja dan kinerjanya, atau mungkin kritikan pedas lain yang mengarah pada nyinyir dan nyaci.

Tapi, kalau mau melihatnya secara proporsional, cukup banyak laman website yang menyediakan informasi kerja-kerja kordinatif Puan Maharani serta apa saja prestasinya.

Tentu saja tak bisa membandingkan kerja Puan Maharani dengan Susi Pudjiastuti, Retno Marsudi, Sri Mulyani, dan lainnya yang terlihat lebih populer karena mereka duduk di Kementerian teknis, sementara Puan Maharani adalah Menko, yang kerjanya bersifat koordinasi, sinkronisasi, dan kontrol atas kebijakan kementerian teknis yang menjadi tanggung jawabnya. 

Kerja Kemenko lebih bersifat "di belakang layar". Kalau mau membandingkan, bandingkanlah dengan sesama Menko-nya, seperti Darmin Nasution, yang juga sama-sama tak terlalu terdengar, atau Wiranto, dan Luhut Binsar Panjaitan yang lebih didengar tapi masyarakat menegasikannya dengan persepsi yang kurang baik.

Tapi apapun, bagi saya, terpilihnya Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI bukanlah sesuatu yang istimewa sehingga harus dihebohkan dan dilambungkan sedemikian rupa karena sejatinya hal itu adalah pelaksanaan dari "sejarah yang tertunda". Posisi itu adalah "jatahnya" pada periode sebelumnya.

Selebihnya, Puan Maharani memiliki tugas berat untuk membuktikan kerjanya kepada masyarakat terutama komitmennya untuk memperbaiki citra DPR RI, membersihkan DPR RI dari perilaku koruptif, mendisiplinkan para anggota DPR RI (soal absensi dan tidur saat sidang, misalnya), menyelesaikan target-target Prolegnas yang ditentukan, menjadikan Gedung Nusantara sebagai sebenarnya rumah rakyat dimana aspirasi diserap dan dilaksanakan, termasuk soal UU KPK serta beberapa RKUHP yang masih menyisakan polemik.

Salam
Mustafa Afif,
Kuli Besi Tua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun