Pat-gulipat serta manuver politik di Gedung DPR RI ketika itu menjadi tontonan menarik, pada satu sisi, sekaligus menjemukan, pada sisi lainnya.
Tapi sekiranya tak ada perubahan aturan dalam memperebutkan pimpinan DPR dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) ketika itu, nama Puan Maharani telah digadang-gadang untuk menduduki Ketua DPR. Selain karena pengalamannya melakukan lobi-lobi politik sebagai Ketua Fraksi, Puan Maharani adalah penerus trah Soekarno melalui Megawati.
Maka, keterpilihan Puan Maharani sebagai perempuan pertama dalam sejarah bangsa ini yang menjabat Ketua DPR RI, sejatinya adalah "penundaan sejarah" karena mestinya itu sudah terjadi sejak lima (5) tahun yang lalu. Artinya, tak perlu kekagetan yang sedemikian rupa. Biasa saja.
Kenapa harus Puan Majarani? Pertanyaan ini yang sebenarnya menjadi perbincangan masyarakat, terutama di dunia medsos mengingat Puan Maharani dianggap sebagai sosok yang kurang tepat karena profilnya "gak bagus-bagus amet" dan tak memiliki cukup prestasi yang bisa dibanggakan.Â
Tentu, kita bisa berdebat soal ini. Entah melalui asas rasionalisasi, objektivitas, maupun atas dasar like or dislike. Toh, kalau mau dibandingkan dengan periode sebelumnya, posisi Ketua DPR juga diduduki oleh sosok yang juga "gak bagus-bagus amet". Khusus Setya Novanto justru tampak "mengerikan".
Tapi, wajar saja menurut saya ketika Puan Maharani akhirnya dipilih untuk menduduki pos Ketua DPR RI melalui PDI-P, terutama karena beberapa alasan:
Pertama, soal posisi dan kekuatan Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P yang tetap kokoh tak tergoyahkan. Megawati tetap menjadi tokoh sentral dimana hampir semua anggota partai benar-benar mematuhinya. Tak ada gelombang penentang, dan PDI-P selalu terlihat kompak. Patronase Megawati jelas tak bisa dilawan.
Megawati, tentu saja memiliki kepentingan untuk melanjutkan trah Soekarno dan Puan Maharani adalah pilihan yang tepat. Kita bisa berdebat, bahwa itu adalah bagian dari oligarki politik, prinsip kedekatan dan jaringan, tapi satu hal yang tak bisa didapatkan oleh banyak orang dan itu dimiliki oleh Puan Maharani, yaitu "takdir sejarah" sebagai cucu Soekarno dan putri Megawati.Â
Itulah "kemewahan" yang didapatkan secara otomatis sebagaimana putera atau puteri lain dari tokoh yang lainnya juga. Benar ada yang jauh lebih hebat, tapi sebagian orang masih menjadikan pertimbangan sejarah sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah penilaian.
Kedua, sosok Puan Maharani pun adalah sosok yang relatif diterima oleh sebagian besar kader serta elit-elit PDI-P karena melihatnya memiliki kemampuan dalam bidang politik.
Ia memiliki pengalaman dan "jam terbang" yang tinggi. Tak mungkin setara Megawati, tentu saja, tapi Puan Maharani memiliki pengalaman yang cukup dalam politik, termasuk bagaimana menghadapi "gemuruh" yang panas melalui "meja lobi".