Kepercayaan itu didukung oleh kinerja mengecewakan sementara negara mengelusnya dengan anggaran triliunan. Target 189 RUU Prolegnas dan 31 UU Prolegnas Kumulatif hanya terealisasi sebanyak 26 UU. Sisanya? Mereka selalu berkelit atas nama Undang-undang berkualitas. Tidak masalah meski sedikit secara kualitas.
Padahal, setidaknya ada 3 Undang-undang yang digugat karena dianggap bermasalah. Ketika masuk dalam daftar judicial review Mahkamah Konstitusi, itu artinya secara kualitas pun perlu dipertanyakan!
Artinya, jika dibandingkan dengan periode 2009 - 2014, terjadi penurunan 50% dari pencapaian pembuatan Undang-undang. Hal itu diperparah dengan tingkat persentase kehadiran (sebagiannya pulas tertidur) saat rapat atau sidang yang kerap mendapatkan cibiran dari masyarakat.
Pada rapat paripurna 16 Juli lalu, hanya 85 dari 560 anggota DPR yang hadir, 220-nya idzin, sisanya mangkir. Fahri kemudian tampil melakukan pembelaan, bahwa absensi tidaklah menjadi ukuran karena harus juga dipahami, bahwa tugas anggota sangat banyak, termasuk kerja di luar kantor dan kunjungan. Terserah-lah, apa aja boleh, Pak.
Semakin mengecewakan ketika perilaku koruptif masih menjadi hiasan. Setidaknya, dari laporan Tirto.id dan siaran pers ICW, ada sekitar 22 legislator yang tersangkut kasus korupsi, diantaranya dilakukan oleh Ketua dan salah satu Wakilnya, Setnov dan Taufik Kurniawan.
Kepatuhan terhadap LHKPN pun perlu dipertanyakan sebab ada sekitar 207 legislator yang belum melaporkan harta kekayaan untuk tahun 2018.
Jangan lupa juga, ada beberapa pelanggaran kode etik yang sudah diputuskan, yaitu 10 kasus, dan 5 pelanggaran kode etik yang belum diputuskan, entah kapan itu akan diselesaikan.
Sementara itu, legislator juga kerap menghasilkan hal-hal yang kontroversial dan kontraproduktif. Mulai dari Anang yang merokok dalam ruangan sidang, Krisna Mukti, hingga Fahri Hamzah yang mengatakan anggota dewan rada-rada blo'on.
Lalu, selama periode 2014 - 2019, sebandingkah kerja yang dihasilkan DPR RI dengan gaji dan fasilitas menggiurkan? Apalagi, sejak kerja dimulai pada 2014 lalu, mereka memulainya dengan kegaduhan. Soal KIH dan KMP, soal polarisasi dan manuver politik melalui utak-atik pasal yang berhubungan langsung dengan kewenangan dan penguasaan dewan.
Kita memasuki industri 4.0 di mana dunia digital benar-benar dibutuhkan, tak bisa ditinggalkan. Sebagian legislator pun aktif di Medsos melalui status dan cuitan. Sebagiannya memuja, sebagian yang lain mengkritik. Sebagiannya berkinerja, sebagiannya hanya cuap-cuap saja. Sebagiannya terlihat aktif dan lihai memainkan kata-kata  sebagiannya asal punya lalu dibiarkan begitu saja.
Maka, kemudian ada yang menginginkan agar para legislator terpilih yang tidak bekerja, sering bolos, dan tidur saat sidang diperlakukan "istimewa" di media dan media sosial. Semacam upaya untuk memberikan pelajaran.